Tidak Terasa Guru

Oleh Tajudin

Saya membaca kritik Masyadi tentang Ishak Hariyanto dengan perasaan campur aduk. Ada beberapa poin yang patut dicermati, tetapi saya merasa penting untuk menegaskan satu hal: dalam perdebatan intelektual, Ishak Hariyanto justru hadir sebagai guru meski tidak selalu terasa bagi mereka yang hanya menilai dari permukaan.

Tajudin

Masyadi menyebut keruwetan dan “kedangkalan pemikiran” Ishak Hariyanto. Saya menolak pandangan itu begitu saja. Keruwetan penjelasan Ishak bukan tanda kepongahan, melainkan cara untuk menyingkap kompleksitas masalah yang kadang terlalu cepat ingin dipadatkan oleh sebagian orang. Jika kita menuntut kesederhanaan instan, kita tidak akan belajar apa-apa.

Seseorang yang bisa menantang pembaca atau pendengar untuk berpikir lebih keras, itulah guru sejati. Ishak mungkin tidak memberikan jawaban instan, tetapi ia mendorong kita mengurai, menelaah, dan menemukan inti sendiri. Guru yang baik sering kali “tidak terasa guru” karena ia menekankan proses, bukan sekadar hasil yang mudah dicerna.

Masyadi tampaknya lupa bahwa intelektualitas bukan soal kesan pertama atau kata-kata indah semata. Dalam banyak diskusi, yang terlihat ruwet justru membuka ruang refleksi yang lebih luas. Orang yang tergesa menilai akan kehilangan kesempatan untuk memahami kedalaman gagasan yang disampaikan.

Selain itu, Ishak Hariyanto memiliki keberanian untuk membedah isu-isu kompleks yang jarang disentuh orang lain. Ini adalah tanda seorang guru yang berani menantang zona nyaman audiensnya. Jika “kedangkalan” itu dianggap hambatan, justru saya melihatnya sebagai ujian intelektual bagi pembaca untuk mengikuti ritme pikir yang lebih matang.

Kita juga harus mengingat: guru sejati bukan selalu yang menyenangkan telinga, tetapi yang menantang akal. Ishak Hariyanto, dengan segala keruwetannya, mengajarkan kita cara berpikir kritis, menganalisis lapisan demi lapisan, dan menolak jawaban instan. Di sinilah nilai pendidikan yang sebenarnya.

Jadi, kritik yang menyebutnya dangkal atau ruwet terlalu cepat. Ishak Hariyanto adalah guru—tidak terasa guru bagi yang ingin serba cepat, tetapi jelas terlihat bagi yang mau belajar dan memahami. Dan justru ketidakterasaan itu menandai keaslian metode pengajarannya: menuntun, bukan menuntut.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama