Masyadi Mau Mengajarkan Tuan Guru Wudhu

Oleh: Ishak Hariyanto

Saya tidak bisa menahan senyum ketika membaca tulisan Masyadi yang seolah ingin mengajarkan saya. mengajarkan Tuan Guru wudhu istilah yang layak. Bayangkan, seseorang merasa cukup berani untuk memberi petunjuk pada guru, padahal pengalaman hidup dan refleksi intelektualnya belum tentu sebanding dengan perjalanan yang sudah ditempuh.

Ishak Hariyanto

Masyadi tampaknya lupa bahwa wudhu bukan sekadar ritual air, tetapi simbol kesadaran, kesabaran, dan ketelitian. Jika wudhu diajarkan dengan tergesa-gesa atau penuh asumsi, hasilnya bisa salah kaprah. Sama halnya dengan kritiknya terhadap saya: terdengar penuh percaya diri, tapi sering melewatkan konteks dan subtansi yang lebih dalam.

Lucunya, dalam keinginan mengajarkan ini, Masyadi menempatkan dirinya di posisi superior. Seolah ia sudah memahami segala seluk-beluk pemikiran saya, lalu berhak memberi koreksi. Padahal dunia intelektual tidak se-sederhana itu; banyak hal yang harus dialami sendiri agar bisa mengajarkan dengan benar.

Ada sesuatu yang ironis: kritik yang dimaksudkan untuk “mendidik” malah menjadi tontonan. Seperti menyaksikan seseorang mencoba memberi pelajaran wudhu kepada guru, tapi tangannya gemetar, matanya ragu, dan ia sendiri belum pernah mencoba di sungai deras. Inilah satir hidup: niat baik bisa berubah lucu ketika kepercayaan diri melebihi kapasitas.

Namun, saya tidak menolak semua kritik Masyadi. Ada beberapa poin yang patut direnungkan. Tetapi cara penyampaian, yang terkesan ingin mengajari, justru menimbulkan lebih banyak senyum daripada introspeksi. Kritik seharusnya mengajak dialog, bukan membuat panggung sandiwara ego.

Akhirnya, tulisan ini bukan untuk merendahkan. Ini pengingat bahwa setiap guru, termasuk saya, punya pengalaman dan refleksi sendiri. Belajar wudhu dari guru bukan tentang siapa lebih cepat mengerti, tetapi tentang menghargai proses dan kedalaman yang sudah dilalui.

Jadi, Masyadi mau mengajarkan Tuan Guru wudhu? Silakan, tapi pastikan niatnya murni, kesabaran tersedia, dan jangan lupa membawa ember humor. Karena tanpa humor, satir ini bisa terasa pahit, dan wudhu intelektual kita semua pun bisa kebasahan sia-sia.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama