Mahasiswa Pasca Jakarta Bingung, Terjebak di Sistem Kapitalisme Akademik

Oleh: Tajudin

Di tengah hiruk-pikuk kritik terhadap Ishak Hariyanto, saya ingin mengalihkan perhatian ke konteks yang lebih luas: mahasiswa pasca Jakarta saat ini memang sering bingung dan terjebak dalam sistem kapitalisme akademik. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika gagasan-gagasan yang kompleks dan keruwetan penjelasan dianggap membingungkan padahal yang dibutuhkan adalah ruang untuk berpikir lebih dalam.

Tajudin

Ishak Hariyanto sering dikritik karena keruwetan atau dianggap “kedangkalan”. Tetapi kita harus memahami bahwa di dunia akademik yang semakin berorientasi pada angka, skor, dan popularitas, kemampuan untuk menghadirkan pemikiran kompleks adalah bentuk keberanian. Ia menolak penyederhanaan yang mereduksi makna, sesuatu yang banyak mahasiswa pasca Jakarta sulit hargai karena terbiasa dengan hasil instan.

Keruwetan Ishak bukanlah kepongahan, melainkan cerminan ketelitian intelektual. Di tengah tekanan publikasi dan tuntutan cepat lulus, mahasiswa sering merasa nyaman dengan gagasan sederhana. Mereka lupa bahwa intelektualitas sejati menuntut kesabaran dan ketelitian, kualitas yang selalu ia hadirkan dalam setiap penjelasan.

Selain itu, sistem kapitalisme akademik memaksa mahasiswa bersaing untuk “terlihat pintar” dengan cepat. Mereka menuntut jawaban instan dan argumen siap pakai. Maka kritik terhadap Ishak yang dianggap ruwet atau tidak sederhana lebih mencerminkan frustrasi terhadap sistem itu sendiri, bukan kelemahan pembicara.

Ishak Hariyanto hadir sebagai teladan yang mengingatkan bahwa pemikiran harus dijalani, bukan hanya dikonsumsi. Mahasiswa harus belajar membaca lapisan demi lapisan, mengurai konteks, dan memahami substansi, bukan hanya mencatat kalimat yang terdengar cerdas. Ia menantang mereka untuk keluar dari kebiasaan akademik yang dangkal.

Kritik yang diarahkan kepadanya, tanpa menyadari tekanan kapitalisme akademik, bisa terkesan tidak adil. Ishak tidak sekadar mengajar teori, ia mengajarkan cara berpikir, menantang, dan mempertanyakan. Dan itu, dalam konteks mahasiswa pasca Jakarta yang bingung, adalah bentuk pendidikan yang sebenarnya.

Kesimpulannya, keruwetan dan kedalaman Ishak Hariyanto bukanlah kelemahan, melainkan cara untuk menghadapi sistem yang membingungkan. Mahasiswa yang siap menghadapi realitas ini akan menemukan nilai sesungguhnya dari pengajaran dan pemikiran Ishak bukan sekadar kalimat panjang, tetapi pengalaman intelektual yang menuntun mereka keluar dari jebakan kapitalisme akademik.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama