Oleh: Lukmanul Hakim
Di tengah riuh rendah perdebatan yang tak kunjung selesai, saya mulai bertanya-tanya: untuk apa sebenarnya semua ini? Judul berubah, tafsir berlipat ganda, orang berebut membela atau menyerang. Pikiran berserakan, tetapi apa yang berubah dari realitas kita? Hampir tidak ada. Kita seolah sedang menikmati pesta surplus pikiran, namun tetap hidup dalam kemiskinan perubahan.
![]() |
Lukmanul Hakim |
Kita ini seperti terjebak dalam lingkaran wacana. Masing-masing ingin menjadi komentator, pengulas, atau pembela kebenaran. Seolah-olah dengan kata-kata yang canggih kita bisa menggerakkan sejarah. Padahal, setelah perdebatan usai, hidup tetap berjalan sebagaimana biasa: desa masih gaduh oleh urusan tanah, kota tetap macet oleh kesibukan, dan masyarakat masih terjebak dalam krisis yang sama. Pikiran hanya berputar di ruang-ruang diskusi, tak pernah turun menapak tanah.
Bukan berarti berpikir itu sia-sia. Filsafat memang penting, kritik media juga penting. Tetapi ketika pikiran berhenti pada tataran surplus, yang lahir hanyalah ego intelektual. Orang lebih suka dikenal sebagai pembela gagasan ketimbang menjadi penggerak perubahan. Ironisnya, semakin banyak tulisan yang muncul, semakin tampak betapa sedikit yang berani menanggung risiko nyata untuk memperbaiki keadaan.
Inilah penyakit kita: menimbun pikiran tanpa mengubah kenyataan. Seperti gudang penuh dengan buku yang tak pernah dibaca, atau lumbung padi yang dibiarkan membusuk sementara orang kelaparan di depan pintu. Kita kaya dalam wacana, miskin dalam tindakan.
Jika benar filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan, maka cinta itu seharusnya menuntun kita melangkah, bukan sekadar bercakap-cakap. Jika benar media adalah ruang publik, maka ia seharusnya menjadi kanal perubahan, bukan arena pamer retorika. Sayangnya, dalam semua hiruk-pikuk ini, saya justru melihat tanda lain: kita bangga menjadi surplus pikiran, tapi rela menjadi minus perubahan.