Oleh: Ishak Hariyanto
Entah bagaimana awalnya, sebuah judul yang berganti seakan-akan menjelma jadi arena tinju intelektual. “Anatomy Filsafat” yang kemudian disebut “Pecahnya Otoritas Media” tiba-tiba bukan lagi milik saya, melainkan menjadi milik siapa saja yang ingin berdebat, mengoreksi, bahkan menjatuhkan. Anehnya, saya justru semakin eksis dalam pusaran ini bukan karena gagasan saya dibaca, melainkan karena saya dibela. Seperti Descartes yang pernah berkata cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada maka hari-hari terakhir ini saya bisa berkata: ego defendor ergo sum, aku dibela maka aku ada.
![]() |
Ishak Hariyanto |
Lucu memang, sebagian kawan tampak bersungguh-sungguh mengurai “apa gerangan” maksud perubahan judul, sebagian lain sibuk membuat counter-opini, sementara redaksi pun tak kuasa menahan diri untuk menabuh genderang. Semua ini terasa seperti drama yang saya tidak pernah sutradarai, tapi nama saya selalu disebut di panggung. Saya mendadak berubah dari penulis menjadi tokoh, dari pemikir yang mestinya bicara gagasan, menjadi obyek yang diributkan.
Dalam perdebatan itu, saya menemukan satu pola: tak ada yang benar-benar membicarakan filsafat atau media secara substansial. Yang ramai justru “siapa yang salah, siapa yang sumbu pendek, siapa yang harus belajar ulang.” Rasanya mirip kemerdekaan yang hambar, sebagaimana ditulis Wahyu, tetapi kali ini hambarnya karena terlalu banyak bumbu satir yang ditaburkan seenaknya. Saya tertawa getir: filsafat ternyata bisa runtuh bukan oleh kuasa tirani, melainkan oleh debat receh yang dibungkus serius.
Namun begitulah dinamika kita. Saya menulis untuk mencari jalan pikir, orang lain membaca untuk mencari celah, lalu lahirlah pembelaan demi pembelaan. Dan di sinilah saya menyadari sesuatu: dibela memang nikmat, meskipun yang membela sering kali tak paham apa yang sedang mereka bela. Tapi bukankah begitulah politik wacana? Selalu ada yang ingin menjadi pembela, agar kelihatan lebih gagah daripada yang dibela.
Maka pada akhirnya saya biarkan saja. Kalau saya tidak lagi menulis, mungkin tidak ada yang peduli. Tapi ketika saya diserang dan dibela, saya justru semakin ada. Maka sekali lagi, izinkan saya mengulang: Aku dibela maka aku ada.