Sudahi Konflik Ini

Oleh: Miptahul Khairi

Ada satu hal yang membuat saya lelah: kita ini terlalu pandai berdebat, tapi payah sekali untuk berhenti. Perdebatan demi perdebatan berderet seperti utang yang tak pernah lunas. Dari soal judul, makna kata, sampai siapa yang paling intelektual, semuanya menjadi arena “adu gengsi”. Jujur saja, kadang saya merasa kita lebih mirip anak-anak rebutan mainan daripada kaum cendekia yang katanya haus kebenaran.

Miptahul Khairi

Mari kita akui: sebagian besar dari kita tidak sedang mencari kebenaran, melainkan sedang cari penonton. Kata-kata dipoles indah, tapi lebih untuk memamerkan “saya tahu lebih banyak daripada kamu”, bukan untuk saling mencerahkan. Apa bedanya ini dengan drama televisi murahan, kecuali pemainnya berganti jas akademik?

Sudahi konflik ini. Karena kalau diteruskan, kita hanya akan jadi bahan tertawaan orang luar. Mereka mungkin berkata, “Begitu ya para pemikir kita? Sibuk berdebat soal hal remeh, sementara masalah nyata di depan mata tak tersentuh.” Ironis, bukan?

Merdeka mestinya berarti bebas dari belenggu ego. Tapi ternyata kita masih terjajah—oleh hasrat untuk menang, oleh rasa ingin diakui, oleh kebanggaan bahwa “argumenku lebih sahih daripada argumenmu”. Inilah penjajahan gaya baru: dijajah oleh diri sendiri.

Saya katakan dengan tegas: berhenti. Diamlah sejenak, bukan karena tak ada yang bisa dikatakan, melainkan karena tidak semua hal pantas diperdebatkan tanpa ujung. Percayalah, kadang kedewasaan justru ditunjukkan dengan memilih mundur, bukan maju membabi buta.

Sudahi konflik ini. Karena kalau terus begini, kita akan surplus kata-kata, tapi minus perubahan. Kita akan kenyang dengan retorika, tapi tetap lapar dalam kenyataan. Dan percayalah, sejarah tidak akan mengingat siapa yang menang berdebat di forum kecil ini. Sejarah hanya akan menulis: “mereka terlalu sibuk bertengkar, sehingga lupa bekerja.”


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama