Berpikir Tidak Harus “Ngelentong”

Oleh: Ishak Hariyanto

Setelah membaca tulisan-tulisan teman-teman, Hamdi yang serius, Lalu Wahyu yang satir, Lukman yang getir, sampai Miptahul yang minta damai, saya hanya bisa tersenyum kecut. Semua tampak pintar, tapi apakah kita benar-benar bergerak? Atau kita hanya sedang menghibur diri dengan parade kata-kata?

Masalahnya jelas: kita terlalu sering ngelentong. Semua ingin bicara panjang, semua ingin tampak gagah di panggung wacana, tapi ujungnya nihil. Surplus kata, minus aksi. Seperti orang yang berdebat panjang soal rasa sate, padahal tidak ada yang benar-benar makan.



Lucunya, semakin panjang kata, semakin dianggap intelek. Semakin rumit kalimat, semakin dikira dalam. Padahal, tidak semua suara berat itu punya isi, kadang hanya udara yang dipaksa lewat tenggorokan. Apa gunanya menumpuk kalimat kalau tak ada yang bisa dipetik selain kebingungan?

Saya kira, sudah waktunya kita sadar: berpikir tidak harus ngelentong. Kalau mau ringkas, ya ringkas saja. Kalau memang ada isi, cukup satu kalimat pun bisa menampar kesadaran. Apa gunanya debat berlembar-lembar kalau isinya hanya melingkar tanpa arah?

Kita bisa belajar dari tokoh-tokoh besar yang justru menggerakkan dunia lewat kalimat sederhana. Bung Karno tidak berapi-api dengan ribuan halaman, cukup dengan satu teriakan “Merdeka!” ia menggetarkan bangsa. Begitu juga Pramoedya Ananta Toer yang sering menulis dengan bahasa tajam dan to the point, sehingga kita bisa langsung menangkap semangat zaman yang ia tawarkan.

Tetapi yang terjadi hari ini: kita keranjingan merangkai kata. Diskusi jadi ajang kompetisi siapa yang lebih puitis, siapa yang lebih filosofis, siapa yang paling pandai mengutip nama asing. Alih-alih membongkar persoalan, kita sibuk menata kalimat agar tampak gagah di halaman.

Kita ini bangsa yang terlalu betah jadi penonton kata. Sementara perubahan yang kita tunggu, terus tersangkut di simpul kalimat yang tak kunjung putus. Bukankah lebih sehat bila kita mulai belajar berkata secukupnya, lalu mengeksekusinya di lapangan?

Maka izinkan saya menutup lebih keras: berhentilah jadi “pemain retorika” yang cuma ingin terlihat pintar. Kalau mau bicara, bicaralah untuk menggerakkan. Kalau mau menulis, tulislah untuk menggugah. Kalau tidak, diamlah—karena diam kadang jauh lebih jujur daripada ngelentong tak tentu arah.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama