Siapa Bilang Saya “Ngelentong”

Oleh: Lalu Wahyu Rizaldi

Dalam percakapan akademik yang belakangan ini memanas, istilah “ngelentong” dilontarkan seolah menjadi vonis untuk membungkam argumentasi. Saya ingin tegaskan: siapa bilang saya ngelentong? Justru, yang sering kali ngotot dengan klaim kebenaran tunggal itulah yang perlu bercermin. Dunia akademik bukan soal siapa paling pintar mencari celah menyerang, melainkan siapa paling jernih merumuskan gagasan yang membuka jalan dialog, bukan menutupnya dengan label-label peyoratif.

Lalu Wahyu Rizaldi


Jika berpikir kritis dianggap ngelentong, maka jelas ada yang salah dengan cara kita mendefinisikan kritik. Kritik mestinya dilihat sebagai upaya menantang kenyamanan pikiran yang beku, bukan sekadar adu istilah. Saya memilih tetap menulis dengan gaya satir, bahkan bila itu membuat sebagian orang risih. Sebab dari keresahan itu, kita bisa menemukan kemungkinan baru dalam memahami realitas, bukan sekadar mengulang jargon.

Ironisnya, mereka yang cepat menuding “ngelentong” justru kerap bersembunyi di balik kalimat-kalimat normatif yang hambar. Mereka mengaku akademik, tapi debatnya berujung pada serangan personal, bukan pembongkaran struktural. Padahal, otoritas intelektual itu tidak dibangun dari amarah atau gengsi, melainkan dari keberanian mengajukan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan.

Saya bukan malaikat intelektual yang bebas dari salah. Namun, saya juga bukan pengulang hafalan yang hanya pandai menuduh. Menulis dan berdebat selalu berisiko—risiko dipelintir, disalahpahami, atau bahkan dicap nyeleneh. Tapi di situlah seni berpikir: mengubah risiko menjadi ruang untuk menggugah. Jadi sekali lagi, siapa bilang saya ngelentong? Saya hanya memilih jalur yang berbeda, yang barangkali terasa tidak nyaman, tetapi lebih jujur.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti terjebak pada permainan istilah dan mulai melihat substansi. Karena kalau setiap gagasan dianggap ngelentong hanya karena tidak sesuai selera, maka dunia akademik akan sepi, penuh keheningan yang munafik. Saya lebih memilih gaduh dengan pikiran, ketimbang diam dalam kepalsuan.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama