Oleh Lukmanul Hakim
Banyak yang menganggap “ngelentong” sebagai aib dalam percakapan intelektual. Istilah itu dilempar seolah menjadi senjata pamungkas untuk merendahkan lawan debat. Tapi mari kita jujur: bukankah setiap pemikiran besar dalam sejarah awalnya dianggap nyeleneh, bahkan dituduh melenceng? Socrates dituduh meracuni pikiran anak muda, Galileo dianggap sesat karena menentang gereja, dan para pemikir modern sering dicibir sebelum gagasannya diakui. Kalau begitu, mengapa kita masih alergi pada yang disebut “ngelentong”?
![]() |
Lukmanul Hakim |
Bagi saya, ngelentong itu bukan sekadar salah jalan berpikir, melainkan bagian dari seni. Seni mengusik kenyamanan, seni menggoyang dogma, seni mengacak-acak kepastian yang sering kali disembah sebagai kebenaran mutlak. Dalam ngelentong, ada keberanian untuk melawan arus, meski resikonya ditertawakan. Bukankah justru dari tawa itulah muncul ruang kritis?
Sayangnya, sebagian orang masih mengukur intelektualitas hanya dengan ukuran formal: kutipan panjang, metodologi kaku, atau bahasa yang terkesan akademis. Mereka lupa, bahwa berpikir juga membutuhkan imajinasi. Ngelentong yang dianggap absurd bisa jadi pintu masuk menuju perspektif baru yang belum terpikirkan sebelumnya. Seperti pelukis yang berani mencoret kanvas dengan garis liar, meski awalnya tidak dipahami, lama-kelamaan karya itu justru membuka horizon baru.
Mereka yang cepat menuding “ngelentong” biasanya takut kehilangan zona aman. Padahal, ilmu berkembang justru karena ada yang berani melompat keluar dari barisan. Kalau semua orang berpikir lurus-lurus saja, dunia akan monoton dan ilmu akan mandek. Maka saya katakan: jangan buru-buru menertawakan ngelentong, karena mungkin di situlah letak kelahiran gagasan segar.
Akhirnya, ngelentong adalah seni, seni merayakan kebebasan berpikir, seni menerima resiko disalahpahami, dan seni menertawakan diri sendiri di tengah keseriusan intelektual. Jadi, daripada mematikan ngelentong dengan stigma, lebih baik kita belajar menari bersamanya. Karena siapa tahu, dari tarian itulah lahir simfoni intelektual yang lebih jujur dan membebaskan.