Oleh: Ishak Hariyanto
Ada sebuah ironi yang sering terjadi dalam gelanggang perdebatan: seseorang yang sebenarnya masih belajar, dengan enteng tampil seolah-olah paling tahu. Lukman, misalnya, dalam perdebatan ini tampak begitu percaya diri bahkan sampai pada titik seakan ia sedang mengajarkan seorang tuan guru cara berwudhu. Sebuah posisi yang jelas problematis: bagaimana mungkin murid merasa lebih mumpuni dari guru, padahal bekalnya masih secuil?
![]() |
Ishak Hariyanto |
Fenomena ini bukan baru. Dalam khazanah klasik, kita sering diingatkan tentang “al-jahlul murakkab” kebodohan ganda: seseorang tidak tahu, tapi sekaligus tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Situasi seperti itu membuatnya lancang melompat ke wilayah yang mestinya dipelajari dengan rendah hati. Lukman, dengan gaya retorisnya, sebenarnya tengah memperlihatkan kecenderungan itu: keberanian yang berlebihan tanpa keseimbangan kebijaksanaan.
Mengajarkan tuan guru berwudhu berarti mengabaikan etika intelektual. Karena ilmu, bagaimanapun, bukan hanya perkara isi, melainkan juga adab. Adab menempatkan diri pada posisi yang benar, tahu kapan berbicara dan kapan mendengarkan. Sebagaimana air wudhu itu sendiri membersihkan, demikian pula adab membersihkan niat kita dalam menuntut ilmu. Tanpa itu, yang tersisa hanyalah debat kusir keras bunyinya, tapi kosong isinya.
Namun, tulisan ini bukan sekadar teguran, melainkan juga pengingat. Bahwa kita semua bisa tergelincir ke posisi Lukman. Dalam semangat ingin tampil pintar, sering kali kita lupa bahwa kepintaran tanpa kedalaman hanya akan memantul sebagai gema kesombongan. Maka, setiap kali kita hendak “mengajarkan tuan guru berwudhu”, sebaiknya kita bertanya pada diri sendiri: apakah benar kita sudah suci dari kebodohan, atau justru sedang berwudhu dengan air yang keruh?