Lukman Bukan Begitu, Mari Kita Belajar Padanya

Oleh: Ahmad Saleh Tabibuddin

Dalam riuh perdebatan yang tak kunjung reda, nama Lukman kembali menjadi semacam episentrum. Ia ditarik ke kanan, diulur ke kiri, diputar ke segala arah, seolah dirinya adalah pusat segala perkara. Padahal, jika kita mau jujur, Lukman bukanlah begitu seperti yang dicitrakan oleh sebagian kawan. Ia bukan sosok yang sekadar “ngelentong” atau melontarkan kalimat berbalut ironi tanpa makna. Justru, di balik gaya bahasanya yang kadang meletup, ia tengah mengajarkan sesuatu yang tidak semua orang bisa cerna dengan baik: seni mengganggu kenyamanan berpikir.

Ahmad Saleh Tabibuddin

Lukman, sebagaimana kita tahu, sering tampil seperti orang yang sengaja memantik api di tungku yang sudah nyala. Ia tidak menaburkan air untuk memadamkan, tetapi juga tidak menambah minyak agar membara. Ia hanya menaruh sejumput garam ke dalam bara itu, agar kita mencium baunya, menoleh, lalu sadar bahwa ada yang sedang terbakar di sekitar kita. Dari sinilah sebenarnya kita perlu belajar padanya, bukan sekadar menyalahkan gaya tutur atau pilihan katanya.

Kita bisa saja berkata “Lukman salah arah,” “Lukman terlampau keras,” atau bahkan “Lukman sedang mengajarkan tuan guru berwudhu.” Tetapi bukankah justru di situlah tantangannya? Bahwa terkadang kita butuh sosok yang berani melabrak pakem, agar pakem itu tidak membeku menjadi dogma. Mari kita bertanya: tanpa orang seperti Lukman, siapa yang akan mengusik kenyamanan kita dalam berpikir? Siapa yang akan mengingatkan kita bahwa perdebatan akademik, sosial, maupun filsafat tidak boleh jatuh menjadi rutinitas tanpa denyut?

Di titik ini, saya ingin menekankan: Lukman bukan begitu, dalam arti ia tidak bisa dipenjarakan hanya dengan satu label. Ia bukan sekadar pengganggu, bukan pula sekadar pengajar. Ia lebih tepat disebut penanda, bahwa percakapan kita masih hidup. Ia hadir sebagai cermin yang kadang retak, kadang bening, tetapi tetap memantulkan wajah kita sendiri. Maka, jangan buru-buru menutup cermin itu hanya karena kita tak suka pada bayangan yang ditampilkannya.

Mari kita belajar padanya, bukan dengan menelannya mentah-mentah, melainkan dengan menyaring. Belajar bahwa pikiran tak harus mulus, bahwa dialog tak harus selalu manis. Justru dari kerikil-kerikil yang dilempar Lukman itulah, jalan diskusi kita menjadi lebih terasa. Kalau perdebatan ini hendak ditutup, biarlah ditutup dengan kesadaran: bukan Lukman yang keliru, melainkan kita yang terlalu malas untuk menafsirkan.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama