Membumikan Narasi Melangit, Para Dosen di Menara Gading

Oleh: Lukmanul Hakim

Dosen sering kali terjebak dalam produksi narasi melangit, indah di tataran wacana, penuh teori dan konsep, namun jauh dari denyut kehidupan nyata masyarakat. Di ruang kelas dan seminar, istilah akademik mengalir deras seakan menjadi bukti kecerdasan, padahal di luar sana petani masih pusing harga gabah dan nelayan bingung harga solar. Konsep-konsep besar seperti “modernisasi politik” atau “sustainable development” terdengar abstrak ketika tidak diterjemahkan dalam bahasa keseharian. Masyarakat tidak membutuhkan bahasa yang sulit dicerna, tetapi jawaban sederhana yang dapat menyentuh persoalan riil hidup mereka. Menara gading memang penting sebagai ruang berpikir kritis, namun ia tak boleh kehilangan tangga untuk turun ke bumi. Jika narasi hanya berhenti di langit kata-kata, maka ilmu kehilangan ruh pengabdian. Di sinilah letak tantangan terbesar para dosen: menjembatani teori dengan realitas sosial.

Lukmanul Hakim

Membumikan narasi melangit bukan berarti merendahkan ilmu, melainkan menghidupkannya agar menyatu dengan denyut masyarakat. Seorang dosen yang berbicara tentang demokrasi deliberatif, misalnya, harus mampu menunjukkan wujud nyatanya dalam musyawarah desa atau rembuk warga. Begitu pula wacana tentang hak asasi manusia seharusnya menemukan relevansinya dalam isu tanah adat, akses kesehatan, dan perlindungan perempuan di daerah. Tanpa jembatan praktis, teori akan menjadi monumen kosong yang hanya dikagumi, tapi tidak pernah dimanfaatkan. Sebaliknya, ketika bahasa akademik dipermudah dan diterjemahkan, ia justru menjadi cahaya penerang dalam ruang sosial. Inilah esensi dari membumikan: mengubah bahasa melangit menjadi percakapan yang bisa menyapa telinga rakyat.

Sering kali, jurang antara menara gading dan kehidupan sehari-hari justru diperlebar oleh kesombongan intelektual. Dosen merasa cukup ketika tulisannya terbit di jurnal internasional bereputasi, tetapi lupa apakah tulisannya pernah dibaca oleh masyarakat yang mereka sebut sebagai objek penelitian. Masyarakat tidak tahu apa itu Scopus atau impact factor, mereka hanya butuh solusi atas persoalan pangan, kesehatan, dan pendidikan. Ilmu yang tidak hadir di tengah masyarakat berisiko kehilangan makna sosial. Di titik ini, dosen perlu merendahkan hati, belajar mendengar suara rakyat yang sering dianggap remeh. Sebab, suara rakyat sejatinya adalah sumber data paling autentik yang mampu memperkaya teori.

Menghadirkan ilmu di bumi tidak harus menghilangkan kedalaman akademiknya. Justru di situlah keindahan seorang dosen diuji: bagaimana ia bisa menjaga integritas ilmiah sekaligus membumikan wacana. Ketika dosen berbicara tentang teori komunikasi partisipatoris, misalnya, ia bisa menunjukkannya dalam program posyandu, forum karang taruna, atau kelompok tani. Teori besar akan lebih hidup ketika dipraktikkan dalam ruang sederhana seperti ini. Bahkan, masyarakat kerap kali memiliki kearifan lokal yang memperkaya teori modern, hanya saja dosen jarang mau menoleh. Narasi melangit baru akan bernilai ketika mampu menyapa tradisi, kearifan, dan bahasa rakyat kecil.

Sayangnya, banyak perguruan tinggi masih memandang pengabdian masyarakat sekadar formalitas. Kuliah kerja nyata (KKN) atau penelitian lapangan dijalankan sebatas kewajiban administratif, bukan panggilan untuk membumikan ilmu. Padahal, di sanalah laboratorium nyata tersedia: sawah, laut, pasar, dan rumah-rumah sederhana. Jika dosen mampu menjadikan ruang-ruang itu sebagai kelas belajar, maka mahasiswa juga akan tumbuh sebagai insan akademik yang peduli pada realitas sosial. Ilmu tidak lagi berhenti di menara, tetapi hadir di gubuk, di kebun, bahkan di perahu nelayan. Dengan begitu, universitas benar-benar menjadi mercusuar masyarakat, bukan hanya gedung yang menjulang di kota.

Membumikan narasi melangit juga berarti mengubah cara berkomunikasi. Dosen harus berani meninggalkan jargon-jargon asing yang sulit dipahami. Sebagai gantinya, ia perlu memakai metafora yang akrab dengan keseharian. Bicara tentang pembangunan berkelanjutan, misalnya, bisa dijelaskan lewat konsep sawah beririgasi yang dijaga bersama lintas generasi. Bicara tentang good governance bisa ditunjukkan lewat contoh kepala desa yang transparan soal dana desa. Dengan bahasa yang membumi, dosen bukan saja dipahami, tetapi juga dihargai sebagai bagian dari komunitas. Ilmu yang komunikatif akan lebih mungkin menjadi inspirasi bagi tindakan nyata.

Ada sebagian dosen yang berhasil keluar dari kungkungan menara gading, menjadi jembatan antara teori dan masyarakat. Mereka tidak malu duduk di bale-bale bambu, berdialog dengan petani, mendengar keluhan ibu rumah tangga, atau berdiskusi dengan anak muda kampung. Dari sana, mereka membawa pulang bahan refleksi yang lebih jujur daripada sekadar data statistik. Itulah wujud nyata intelektual organik, yang mengakar pada realitas sosial sambil tetap menjaga kedalaman ilmiah. Keberhasilan mereka menunjukkan bahwa membumikan ilmu bukan sesuatu yang mustahil. Justru di situlah panggilan sejati seorang dosen diuji: apakah ia sekadar pencatat teori, atau penyambung kehidupan.

Akhirnya, membumikan narasi melangit adalah jalan panjang yang menuntut keberanian intelektual dan kerendahan hati. Menara gading tetap diperlukan sebagai ruang refleksi, tetapi ia harus selalu punya pintu keluar menuju bumi. Ilmu yang tinggi nilainya bukan yang hanya tercatat di jurnal bereputasi, melainkan yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat banyak. Para dosen di menara gading harus sadar: tugas mereka bukan sekadar mencetak ijazah, melainkan menghidupkan pengetahuan agar berdenyut dalam kehidupan nyata. Dengan begitu, narasi melangit tidak lagi menjadi jargon kosong, melainkan energi sosial yang membangun, membimbing, dan membebaskan masyarakat.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama