Oleh: Agus Dedi Putrawan
Perdebatan seputar perubahan judul karya Ishak Hariyanto dari Anatomy Filsafat menjadi Pecahnya Otoritas Media telah memancing tiga suara nyaring: Bang Anto dengan nada curiga terhadap “pengorbanan kedalaman”, Bang Hamdi yang membela dengan alasan “strategi epistemik”, dan Bang Tajudin yang enteng saja berkata, “Yang penting konten, bukan judul.” Tiga posisi ini, meski berbeda, sama-sama menyisakan celah yang membuat kami di Redaksi tergelitik untuk menanggapi bukan untuk memihak, melainkan untuk memastikan polemik ini tidak lekas padam.
![]() |
Agus Dedi Putrawan |
Bang Anto benar dalam satu hal: judul adalah pintu masuk makna. Tetapi ia tampak mengunci pintu itu hanya untuk kalangan akademis. Bang Hamdi punya poin soal perlunya filsafat hadir di tengah isu media, tapi ia masih menempatkan keduanya sebagai entitas terpisah yang “dijembatani”. Sementara Bang Tajudin, dengan sikap “konten adalah segalanya”, tampak melupakan bahwa dalam komunikasi publik, judul adalah peluru pertama yang menentukan arah tembak. Ketiganya seperti sedang bermain catur di papan yang sama, tapi memakai aturan permainan masing-masing.
Yang belum diangkat secara serius adalah fakta bahwa perubahan judul ini terjadi di tengah retaknya otoritas pengetahuan secara global. Media tidak lagi menjadi satu-satunya pengawal kebenaran; publik memproduksi dan mengonsumsi narasi secara langsung, tanpa filter institusional. Dalam lanskap seperti ini, perubahan judul bukan sekadar kosmetik, melainkan strategi untuk mengintervensi arus wacana di momen yang tepat. Pertanyaannya, mengapa ketiganya belum membicarakan ini secara mendalam?
Mungkin jawabannya sederhana, mereka masih melihat filsafat dan media dengan jarak tertentu. Padahal, di abad ke-21, medan filsafat adalah medan media itu sendiri. Setiap perdebatan tentang gagasan adalah perdebatan tentang bagaimana ide tersebut beredar, diterima, dan dimodifikasi di ruang publik. Ishak Hariyanto tampaknya sudah menyadari ini; perubahan judulnya adalah cara masuk ke arena.
Jadi, siapa sebenarnya yang harus belajar ulang? Apakah Bang Anto yang khawatir berlebihan surplus ide, Bang Hamdi yang masih memisahkan teori dan fenomena, atau Pak Kades Tajudin yang menyepelekan peran framing? Mungkin, justru kita semua termasuk saya perlu belajar ulang memahami bahwa di zaman ini, pertempuran filsafat terjadi di medan yang sama dengan pertempuran narasi media. Dan di medan itu, judul bukan sekadar penanda isi, melainkan senjata.