Oleh: Fauzi
Menyimak silang pendapat antara Bang Anto, Bang Hamdi, Bang Tajudin, dan bahkan Saudara Lukman, saya melihat satu gejala menarik: gairah intelektual yang sehat, tapi dengan risiko terbakar oleh api ego. Kita bicara filsafat, media, dan perubahan judul buku Ishak Hariyanto, tetapi diskusi ini bisa kehilangan arah jika lebih sibuk mempertahankan posisi daripada membedah persoalan. Karena itu, izinkan saya menekankan satu hal sederhana, debat akademik boleh saja keras, tapi jangan sampai berakhir dengan sumbu pendek.
Pertama, saya kira kegelisahan Bang Anto tentang “kedalaman yang hilang” valid, tetapi ia jatuh pada jebakan klasik: menganggap kedalaman hanya ada di ruang akademis. Padahal, filsafat yang steril dari publik justru kehilangan makna historisnya. Sementara Bang Hamdi, yang mencoba membela dengan istilah “strategi epistemik”, memang membawa napas segar, tetapi masih menganggap filsafat dan media dua ranah berbeda yang hanya bisa dijembatani. Dalam hal ini, saya lebih sepakat dengan provokasi Redaksi: medan filsafat hari ini memang sudah menyatu dengan medan media.
Kedua, Bang Tajudin perlu dikritik lebih jauh. Ucapannya “yang penting konten, bukan judul” jelas meremehkan ekologi komunikasi. Di era banjir informasi, judul bukan sekadar sampul, melainkan pintu utama yang menentukan apakah ide masuk ke percakapan publik atau terkubur di arsip digital. Menganggap judul tak penting sama saja mengabaikan mekanisme produksi perhatian (attention economy) yang kini menjadi arena perebutan makna.
Namun, saya juga ingin memberi catatan untuk Redaksi. Dengan gaya provokatifnya, Redaksi seolah ingin memanaskan suasana. Itu boleh saja, karena polemik perlu energi. Tapi perlu diingat, energi debat intelektual sebaiknya diarahkan ke pengayaan gagasan, bukan sekadar saling sikut. Jika debat ini hanya menjadi ajang adu ego, kita akan kehilangan kesempatan untuk membaca dengan serius “pecahnya otoritas media” sebagai gejala epistemik yang lebih luas yaitu krisis siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran di era algoritma.
Jadi, mari kita teruskan perdebatan ini tanpa perlu tersulut emosi. Bang Anto boleh terus menyoal kedalaman, Bang Hamdi bisa mengasah jembatannya agar lebih kokoh, Bang Tajudin perlu memperpanjang napas analisisnya, dan Redaksi bisa tetap provokatif asal jangan jadi kompor. Sebab, jika sumbu terlalu pendek, yang pecah bukan hanya otoritas media, tapi juga otoritas intelektual kita sendiri.