Bang Anto, Bang Hamdi, Pak Kades Tajudin Belajarlah Ulang...!!!

Oleh: Lukmanul Hakim

Menyimak perdebatan panjang antara Bang Hamdi  Tentang  “Apa Gerangan…?” di Media Capital Press, Bang Tajudian (penggagas “Mengapa Harus Tergesa?”), yang entah kenapa ikut nimbrung lewat komentar-komentar di forum daring, saya merasa ada yang keliru dalam kerangka besar cara mereka memandang perubahan judul buku Ishak Hariyanto. Ketiganya, meski berbeda posisi, tampaknya sama-sama terjebak pada logika lama yang memisahkan filsafat dari ekosistem media, seolah keduanya berada di dua planet berbeda yang hanya sesekali bersinggungan.

Lukmanul Hakim

Pertama, Bang Anto terlalu khawatir soal “konsistensi akademis” seakan perubahan judul akan otomatis menggerus kedalaman analisis. Bang, di era sekarang, kedalaman tidak diukur dari istilah rumit atau kerangka konseptual yang hanya bisa dimengerti segelintir orang. Kedalaman diukur dari kemampuan mengaitkan gagasan dengan realitas yang sedang membentuk kesadaran kolektif. Kalau Anatomy Filsafat ingin hidup di tengah masyarakat, ia memang harus dibaptis ulang menjadi sesuatu yang punya getaran publik itulah yang dilakukan Pecahnya Otoritas Media.

Kedua, Bang Hamdi, meski posisinya membela perubahan judul, masih melihat langkah itu sebagai “strategi epistemik” yang bertujuan menjembatani teori dan fenomena. Masalahnya, bahasa “jembatan” ini justru mempertahankan jurang antara filsafat dan media. Padahal, media hari ini bukan sekadar objek yang dijembatani oleh filsafat; media adalah medan tempur filsafat itu sendiri. Pertarungan definisi, klaim kebenaran, bahkan struktur logika publik terjadi di dalam infrastruktur media. Jadi, bukan soal menjembatani, tapi soal masuk dan bertarung di tengahnya.

Ketiga, Bang Tajudin yang selalu bilang, “Yang penting konten, bukan judul,” jelas ketinggalan kelas. Di dunia komunikasi, judul adalah framing pertama yang menentukan arah pembacaan. Mengabaikan pentingnya judul sama saja menutup mata terhadap mekanisme bagaimana ide bertarung di ruang publik. Konten yang hebat tanpa judul yang tepat ibarat peluru tajam yang ditembakkan ke udara tanpa sasaran.

Jadi, maaf, Bang Anto, Bang Hamdi, dan Bang Tajudin, kalian harus belajar ulang. Belajar bahwa filsafat bukan benda mati yang bisa dipajang di rak, melainkan instrumen hidup yang harus merespons keretakan otoritas pengetahuan di zaman digital. Belajar bahwa media bukan sekadar kanal, melainkan arena hegemoni yang membentuk bahkan “memproduksi” realitas. Dan belajar bahwa perubahan judul bukan sekadar estetika atau taktik pasar, tapi bagian dari pertempuran makna itu sendiri.

Kalau para Bang ini mau serius, mulailah dengan mengakui satu hal sederhana: Pecahnya Otoritas Media bukan sekadar buku tentang media, dan bukan pula filsafat yang turun gunung. Ia adalah penanda bahwa medan filsafat hari ini adalah medan media itu sendiri. Dan siapa pun yang masih memisahkan keduanya, mohon maaf, sedang hidup di zaman yang salah.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama