Hamdi, Mengapa Harus Tergesa?

Oleh: M Tajudin

Membaca tulisan “Apa Gerangan…? Perubahan Judul dari Anatomy Filsafat menjadi Pecahnya Otoritas Media Ishak Hariyanto” yang membedah perubahan judul karya Ishak Hariyanto dari Anatomy Filsafat menjadi Pecahnya Otoritas Media, saya menangkap semacam kegelisahan penulis terhadap kemungkinan adanya “pengorbanan kedalaman” demi daya tarik isu. Namun, saya merasa kegelisahan ini justru berangkat dari asumsi yang terlalu kaku tentang batas antara filsafat dan realitas kontemporer. Mengapa kita harus memisahkan secara tegas dunia konseptual filsafat dari dunia perebutan makna di media? Bukankah sejarah filsafat justru penuh dengan contoh di mana gagasan besar lahir dari pergulatan langsung dengan problem zaman?

M Tajudin


Pertama, anggapan bahwa perubahan judul ini berisiko menggeser fokus dari ranah konseptual ke ranah populer seolah mengandaikan bahwa pembaca luas tidak sanggup mencerna kedalaman. Padahal, jika kita menengok tokoh seperti Jürgen Habermas atau Marshall McLuhan, karya-karya mereka memadukan filsafat kritis dengan analisis media tanpa kehilangan bobot teoretis. Perubahan judul Ishak Hariyanto bisa dibaca bukan sebagai kompromi kualitas, melainkan strategi epistemik: mengaitkan abstraksi filsafat dengan fenomena konkret yang dirasakan publik.

Kedua, saya justru melihat “pecahnya otoritas media” sebagai pintu masuk yang lebih jujur untuk membaca Anatomy Filsafat versi Ishak. Anatomi berpikir, dalam konteks abad ke-21, tak bisa dilepaskan dari infrastruktur informasi yang membentuk kesadaran publik. Jika kita membedah “filsafat” tetapi mengabaikan kondisi ekologi media yang membingkai cara kita memahami dunia, maka bedah itu akan steril. Perubahan judul ini, bagi saya, adalah penegasan bahwa filsafat tidak lahir di ruang hampa; ia selalu bertarung dengan medan kuasa, termasuk kuasa informasi.

Ketiga, kekhawatiran bahwa pembaca akan kecewa jika isi buku “terlalu konseptual” meski judulnya terasa aktual, menurut saya, terlalu meremehkan peran pembaca. Publik hari ini bukan massa pasif yang menelan mentah-mentah isi buku; mereka adalah kurator pengetahuan bagi dirinya sendiri. Bahkan, disonansi antara ekspektasi dan isi justru bisa menjadi ruang produktif—mendorong pembaca untuk menelusuri hubungan antara gagasan filosofis dan realitas politik komunikasi.

Terakhir, saya justru ingin membalik pertanyaan penulis “Apa Gerangan…?” menjadi “Mengapa Tidak…?”. Mengapa kita tidak melihat perubahan judul ini sebagai langkah pembebasan filsafat dari keterkungkungan akademis? Mengapa kita tidak memaknainya sebagai upaya menjembatani jurang antara teori dan praksis? Dalam zaman di mana otoritas media memang tengah retak, filsafat punya kewajiban etis untuk hadir—bukan hanya sebagai pengamat dari menara gading, tetapi sebagai partisipan aktif dalam membentuk narasi dan membongkar mitos yang melingkupinya.

Dengan demikian, alih-alih curiga pada pergantian judul ini sebagai taktik pasar, saya memilih melihatnya sebagai manifestasi kesadaran historis: bahwa filsafat harus merespons getaran zaman. Ishak Hariyanto, melalui Pecahnya Otoritas Media, tampaknya sedang mengajak kita membedah bukan hanya struktur ide, tetapi juga anatomi kekuasaan yang menguasai medan informasi. Dan bukankah itu, sejatinya, adalah inti dari filsafat yang hidup?


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama