Apa Gerangan…? Perubahan Judul dari Anatomy Filsafat menjadi Pecahnya Otoritas Media Ishak Hariyanto

Oleh: Hamdi, M.Ap

Perubahan judul dari Anatomy Filsafat menjadi Pecahnya Otoritas Media bukanlah sekadar pergantian kulit buku atau permainan tipografi. Judul adalah pintu masuk makna, tanda awal yang mengarahkan pembaca pada horizon interpretasi tertentu. Pergeseran ini menunjukkan adanya pergeseran fokus wacana: dari sebuah kajian yang terkesan akademis, abstrak, dan mengupas tatanan ide filsafat secara “anatomis”, menuju pembacaan kritis atas krisis legitimasi media di era digital. Ishak Hariyanto, dengan keputusan ini, tampaknya ingin meletakkan karyanya bukan semata di wilayah filsafat murni, melainkan di arena yang lebih “panas” ranah politik komunikasi, produksi kebenaran, dan perebutan makna di ruang publik.

Hamdi, M.Ap


Jika Anatomy Filsafat memanggil imaji tentang bedah intelektual atas struktur berpikir manusia, maka Pecahnya Otoritas Media langsung menohok pada isu kontemporer yang lebih mudah dirasakan publik. “Pecahnya” di sini memberi gambaran tentang runtuhnya monopoli wacana yang selama ini dipegang oleh institusi media arus utama. Perubahan judul ini bukan tanpa risiko: ia menggeser segmentasi audiens dari pembaca filsafat yang mungkin sempit namun intens, ke pembaca kritis media yang lebih luas tetapi juga lebih pragmatis. Pertanyaannya, apakah perubahan ini memperkuat kedalaman analisis atau justru mengorbankan ketelitian konseptual demi relevansi isu?

Dalam konteks filsafat media, pergantian judul ini bisa dibaca sebagai respons atas fenomena disrupsi digital. Otoritas media yang selama puluhan tahun dibangun melalui proses verifikasi, kode etik, dan distribusi informasi yang terpusat, kini menghadapi fragmentasi yang ekstrem. Media sosial, platform berbagi konten, dan algoritma personalisasi telah menciptakan “ekosistem kebenaran” yang terpecah-pecah, di mana klaim faktual tak lagi bergantung pada otoritas tunggal. Judul Pecahnya Otoritas Media mengisyaratkan bahwa buku ini bukan hanya analisis, melainkan pernyataan politis: kita sedang hidup dalam zaman tanpa wasit tunggal untuk kebenaran.

Namun, ada yang mengganjal. Perubahan ini berpotensi menimbulkan disonansi antara isi dan judul jika substansi buku masih terlalu kental dengan uraian konseptual ala Anatomy Filsafat. Pembaca yang datang dengan ekspektasi menemukan kritik langsung terhadap media massa bisa merasa tersesat dalam pembahasan epistemologi yang terlalu teknis. Di sinilah letak tantangan bagi Ishak Hariyanto: mengharmoniskan antara kedalaman filsafat dan urgensi problem media agar judul dan isi saling menguatkan. Jika tidak, perubahan judul ini akan terbaca sebagai manuver pemasaran belaka, bukan strategi konseptual.

Pada akhirnya, pertanyaan “Apa gerangan…?” bukan hanya soal alasan perubahan judul, tetapi juga tentang arah baru diskursus kritis yang hendak dibangun. Apakah ini sinyal bahwa filsafat mesti keluar dari menara gading dan menyelam ke lumpur perebutan makna di media? Ataukah sekadar upaya menyesuaikan diri dengan pasar pembaca yang haus isu-isu aktual? Apapun jawabannya, perubahan ini membuka ruang bagi perdebatan yang lebih luas tentang peran filsafat di tengah krisis otoritas dan legitimasi media perdebatan yang mungkin justru menjadi inti dari karya ini.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama