Kegagalan Hamdi Memahami Pikiran Ishak Hariyanto

Oleh: Muhammad Tajudin


Tulisan Hamdi, M.Ap yang dimuat di Capital Press Nusantara bertajuk “Kegagalan Bernalar Ishak Hariyanto tentang Cancel Culture” berangkat dari asumsi bahwa Ishak menolak cancel culture semata sebagai bentuk intoleransi. Padahal, jika membaca teks Ishak secara utuh, yang ia persoalkan bukanlah legitimasi tuntutan moral publik, melainkan pola perilaku digital yang memproduksi trial by social media fenomena ketika pengadilan opini publik mengambil alih peran institusi hukum tanpa standar verifikasi yang jelas. Dengan demikian, kritik Hamdi justru terjebak pada straw man fallacy, membangun karikatur posisi Ishak untuk kemudian diserang.

Hamdi menempatkan cancel culture secara tunggal sebagai “respons etis berbasis trauma” (mengutip Ng dan Kang, 2022), tetapi ia mengabaikan bahwa trauma kolektif tidak otomatis melahirkan mekanisme respons yang adil. Dalam banyak kasus, cancel culture yang tak terkendali juga berujung pada public shaming permanen, bahkan terhadap pihak yang telah mengakui kesalahan dan melakukan perbaikan. Ishak, dalam artikelnya, mengingatkan bahwa dimensi keadilan prosedural perlu tetap dijaga agar tuntutan moral publik tidak berubah menjadi mob rule. Mengabaikan peringatan ini, Hamdi menutup mata pada risiko authoritarianism from below, di mana massa menjadi instrumen pembungkaman yang sama bahayanya dengan sensor negara.

 
Muhammad Tajudin

Hamdi juga menuduh Ishak mengabaikan “struktur kekuasaan” yang membentuk cancel culture, namun ironi muncul ketika Hamdi sendiri gagal mengakui bahwa kekuasaan itu tidak hanya bekerja top-down, tetapi juga lateral dan peer-to-peer. Dalam konteks platform digital, viralitas bisa menciptakan bentuk kekuasaan baru: kekuasaan trending. Siapa pun yang menguasai arus narasi viral dapat melakukan pembunuhan karakter secara efektif, terlepas dari posisi sosial awalnya. Ishak menyoroti paradoks ini bahwa tuntutan keadilan bisa, dalam kondisi tertentu, terdistorsi menjadi eksekusi sosial tanpa peluang pemulihan.

Kritik Hamdi terhadap absennya pembedaan antara cancel dan call out juga tidak akurat. Ishak secara eksplisit membahas perbedaan keduanya, namun ia menekankan bahwa dalam praktik digital kontemporer, batas itu sering kabur akibat logika algoritma yang mengutamakan engagement dibanding kedalaman diskusi. Poin ini penting, karena pembauran antara call out yang bersifat edukatif dan cancel yang bersifat eliminatif justru menjadi sumber ketegangan dalam ruang publik digital. Hamdi, dalam semangat membela cancel culture, malah mengabaikan analisis performativitas digital yang menjadi salah satu kontribusi utama Ishak.

Selain itu, Hamdi terlalu cepat melabeli posisi Ishak sebagai bagian dari “narasi konservatif”. Tuduhan ini tidak hanya prematur, tetapi juga mengandung bias ideologis yang menutup kemungkinan pembacaan lintas spektrum. Kritik terhadap cancel culture tidak secara otomatis konservatif; banyak pemikir progresif, seperti Zeynep Tufekci dan Nadine Strossen, yang juga mengangkat risiko kebebasan berekspresi di tengah gelombang public shaming. Dengan mengurung diskusi dalam dikotomi progresif–konservatif, Hamdi secara tidak sadar mereproduksi polarisasi yang justru menghambat kajian kritis terhadap fenomena sosial.

Akhirnya, yang paling problematis adalah kecenderungan Hamdi mereduksi cancel culture menjadi instrumen tunggal keadilan sosial, seolah-olah ia bebas dari problem kekuasaan internal, bias mayoritarian, dan insentif komersial platform. Ishak, sebaliknya, menawarkan pembacaan yang lebih berhati-hati mengakui bahwa cancel culture dapat memikul misi etis, namun juga dapat melahirkan bentuk baru dari persekusi publik. Menolak melihat sisi gelap cancel culture bukanlah tanda keberpihakan pada korban, melainkan bentuk moral complacency yang justru melemahkan gerakan itu sendiri.

Dengan demikian, yang gagal dalam memahami di sini bukan Ishak Hariyanto, melainkan Hamdi, yang terlalu tergesa mengkategorikan lawannya, mengabaikan kompleksitas fenomena, dan akhirnya kehilangan peluang untuk membangun perdebatan yang lebih produktif. Kritik akademik memerlukan kesediaan membaca utuh, bukan sekadar memotong narasi lawan demi memperkuat posisi ideologis sendiri.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama