Degradasi Makna Budaya di Lingkaran Kita

Oleh: ASTA Tabibuddin

Dalam wacana populer dan keseharian masyarakat, istilah budaya kerap dipahami sebagai sesuatu yang statis, terbatas pada simbol-simbol masa lalu seperti pakaian adat, upacara tradisional, tari-tarian, atau pranata adat. Persepsi ini menempatkan budaya sebagai artefak, bukan sebagai proses dinamis. Akibatnya, budaya dianggap sebagai sesuatu yang harus dilestarikan, tetapi jarang dipahami sebagai cara berpikir, bertindak, dan memaknai dunia yang terus berkembang dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat, 2009).

Padahal, dalam kajian antropologi dan filsafat budaya, budaya tidak hanya dilihat sebagai warisan benda atau tradisi, melainkan sebagai sistem makna yang dibangun manusia melalui bahasa, interaksi sosial, dan proses historis. Clifford Geertz, misalnya, menekankan bahwa budaya adalah webs of significance jaringan makna yang ditenun manusia sendiri, dan di situlah letak hakikat keberbudayaan manusia (Geertz, 1973). Artinya, budaya bukan hanya tentang apa yang diwariskan, tetapi tentang bagaimana manusia memberi makna atas dunia yang ia hidupi hari ini.

Kesalahan umum dalam memahami budaya sebagai produk masa lalu menjebak masyarakat dalam konservatisme kultural. Kebudayaan dianggap berhasil jika tetap “asli”, “murni”, atau tidak berubah. Pandangan ini bertentangan dengan pemahaman budaya sebagai proses sosial yang senantiasa terbentuk melalui adaptasi, negosiasi, dan resistensi terhadap realitas baru (Hobsbawm & Ranger, 1983). Ketika budaya dibekukan dalam bentuk museumisasi adat, maka ia kehilangan daya kritis dan inovatifnya.

Lebih lanjut, cara berpikir yang membekukan budaya mengabaikan fungsi utama budaya sebagai alat manusia untuk bertahan hidup dan beradaptasi. Dari perspektif sosiologi budaya, budaya adalah sistem nilai dan pengetahuan yang memungkinkan individu menavigasi dunia sosial dan lingkungan sekitarnya. Ia mencakup norma, bahasa, simbol, bahkan teknologi digital yang kini menjadi bagian dari kehidupan budaya kontemporer (Storey, 2018). Menyempitkan budaya pada masa lalu berarti mengabaikan realitas kebudayaan digital, urban, dan global saat ini.



Dalam filsafat, terutama dalam kerangka hermeneutika budaya, budaya adalah medan tafsir yang tak pernah selesai. Manusia menafsirkan ulang makna dunia melalui budaya yang terus-menerus diciptakan. Oleh karena itu, budaya adalah bentuk paling tinggi dari nalar manusia—kemampuannya untuk mencipta makna, membangun dunia simbolik, dan mengatasi naluri biologisnya yang purba (Ricoeur, 1976). Justru di sinilah letak perbedaan manusia dengan makhluk lainnya: ia membangun realitasnya secara reflektif dan komunikatif.

Reduksi budaya menjadi sekadar peninggalan masa silam juga mencerminkan kecenderungan negara dan elit kebijakan untuk memanipulasi makna budaya demi kepentingan politik identitas. Dalam banyak kasus, budaya dikomodifikasi untuk kepentingan pariwisata atau legitimasi kekuasaan, sementara dimensi kritis dan emansipatorisnya diabaikan. Negara merayakan budaya sebagai “aset nasional”, tetapi menindas ekspresi budaya yang dianggap membahayakan stabilitas atau tidak sesuai dengan narasi dominan (Scott, 1998). Maka budaya bukan lagi ruang negosiasi makna, melainkan dipaksa menjadi panggung estetika semu yang patuh terhadap kontrol kekuasaan.

Ironisnya, di tengah kompleksitas globalisasi, budaya justru dibekukan oleh masyarakatnya sendiri karena rasa takut kehilangan identitas. Alih-alih menjadikan budaya sebagai kekuatan untuk merespons zaman, ia dipakai sebagai tameng nostalgia kolektif. Budaya diminta diam dalam bentuk yang dikenang, bukan bergerak dalam bentuk yang diciptakan. Hal ini menandakan krisis nalar budaya: ketika masyarakat lebih memilih untuk mengenang masa lalu daripada memahami tantangan kekinian. Padahal, seperti ditegaskan Hall (1997), identitas budaya tidak pernah tetap; ia adalah proses yang terus-menerus dibentuk oleh representasi, kuasa, dan pergulatan sejarah.


Referensi 

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books.

Hall, S. (1997). Cultural Identity and Diaspora. Dalam K. Woodward (Ed.), Identity and Difference (hlm. 51–59). London: Sage Publications.

Hobsbawm, E., & Ranger, T. (1983). The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press.

Scott, J. C. (1998). Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven: Yale University Press.

Storey, J. (2018). Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction (8th ed.). New York: Routledge.

Williams, R. (1983). Keywords: A Vocabulary of Culture and Society. London: Fontana Press.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama