Oleh: Hamdi, M.Ap
Tulisan Ishak Hariyanto yang dimuat dalam Jurnal Sociologia berjudul “La cultura de la cancelacion” mencerminkan kegagalan dalam membedakan antara kritik kolektif yang bersifat etis dengan praktik persekusi yang merugikan kebebasan berpikir. Dalam artikelnya, Ishak menyamakan cancel culture dengan pembungkaman suara dan intoleransi terhadap perbedaan pendapat. Padahal, cancel culture dalam banyak kasus justru muncul sebagai ekspresi kolektif warga yang menuntut pertanggungjawaban moral dari tokoh publik atau institusi yang telah melukai nilai-nilai keadilan, kesetaraan, atau kebenaran etis. Dengan menyederhanakan persoalan tersebut menjadi bentuk "intoleransi", Ishak kehilangan konteks sosiologis yang lebih luas dan jatuh pada dikotomi yang tidak produktif antara toleransi versus pembatalan.
Cancel culture bukan semata-mata peristiwa sosial yang dapat disamakan dengan sensor ideologis. Sebaliknya, dalam konteks masyarakat digital, cancel culture sering kali berfungsi sebagai koreksi atas impunitas tokoh yang sebelumnya terlindungi oleh privilese institusional maupun politik. Ishak tampak mengabaikan dinamika kekuasaan yang bekerja dalam kasus-kasus cancel culture, seperti ketika masyarakat sipil menuntut akuntabilitas dari selebritas, akademisi, atau pejabat publik yang menyebarkan ujaran kebencian, misogini, atau rasisme. Dalam hal ini, cancel culture menjadi bentuk baru dari kontrol sosial yang mengandalkan opini publik sebagai sarana perubahan etis.
![]() |
Hamdi, M.Ap |
Alih-alih memahami cancel culture secara genealogis dan historis, Ishak tergelincir dalam narasi umum konservatif yang cenderung melihatnya sebagai ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Padahal, seperti yang dicatat oleh Ng dan Kang (2022), cancel culture harus dibaca dalam kerangka “respons etis berbasis trauma” yang lahir dari ketimpangan kuasa dan luka kolektif yang tidak pernah diberi ruang dalam wacana dominan. Jika kita mengabaikan latar trauma ini, maka kita hanya akan melihat cancel culture sebagai serangan individualistik, bukan sebagai intervensi publik yang bermakna dalam perdebatan etika dan politik masa kini.
Kegagalan Ishak juga terlihat dari absennya analisis terhadap produksi dan distribusi narasi digital di era platform. Dalam banyak kasus, cancel culture tidak hanya terjadi di ruang diskursif, tetapi juga dalam struktur algoritmik media sosial yang menfasilitasi viralitas. Menyalahkan publik karena melakukan cancel tanpa menelusuri bagaimana platform seperti X (Twitter), TikTok, dan YouTube mempromosikan performativitas moral justru menempatkan analisisnya dalam posisi yang naif secara teoritis. Sebagaimana ditekankan oleh Gillespie (2018), kita tidak bisa memisahkan dinamika moral publik dari struktur teknologinya.
Tulisan Ishak juga luput membedakan antara “cancel” dan “call out”. Padahal dalam studi-studi komunikasi publik kontemporer, cancel culture dipisahkan dari call-out culture, yang lebih menekankan pada pendidikan dan transformasi sosial ketimbang pembatalan mutlak. Dengan mencampuradukkan dua hal tersebut, tulisan Ishak menjadi tidak hanya kabur secara konseptual, tetapi juga cenderung retoris dan defensif. Hal ini berbahaya ketika wacana tersebut digunakan untuk menegasikan perjuangan kelompok marjinal yang selama ini tak punya ruang dalam arena formal demokrasi liberal.
Dengan demikian, tulisan Ishak Hariyanto gagal memberikan pencerahan tentang fenomena cancel culture. Ia tidak hanya keliru dalam menilai motivasi di balik aksi-aksi pembatalan publik, tetapi juga gagal membaca lanskap digital, struktur kekuasaan, dan narasi trauma yang menyertainya. Kritik terhadap cancel culture memang penting, tetapi kritik itu harus berbasis pemahaman yang adil terhadap konteks historis, politik, dan afektif dari praktik tersebut. Sayangnya, tulisan Ishak lebih menyerupai keluhan moral yang kering dari nalar analitis, dan justru memperlebar jarak antara akademisi konservatif dengan wacana publik progresif yang tumbuh di masyarakat.
Referensi