Beragama Harus Bebas: Sebuah Pergulatan Eksistensial dari Pesan Kebencian Hingga Pesan Perdamaian

Oleh: Kiai Ishak Hariyanto

Tulisan ini berangkat dari refleksi sikap keberagamaan seorang subyek ketika mengalami pergulatan eksistensial dalam mencari jati diri di tengah banyaknya aliran keberagamaan di Indonesia, khususnya di Lombok NTB. Saya tulis saja subyek agar tidak menyebutkan namanya untuk menjaga kerahasiaan. Refleksi ini berangkat dari seorang subyek yang telah mengalami pergulatan eksistensial ketika masih duduk di bangku SMA. Ketika SMA pergolakan batin dimulai, kemudian mengenal obat-obatan, kenakalan masa remaja, sering bolos sekolah, tawuran hingga di skors dari sekolah. Kehidupan ini terus berlanjut sampai akhirnya subyek dapat menyelesaikan sekolah SMA.

Ketika selesai SMA apakah melanjutkan kuliah atau melanjutkan pengembaraan eksistensial, dan akhirnya subyek ini memilih untuk melanjutkan pengembaraan dalam mencari jati dirinya sebagai orang yang beragama, namun tidak taat dalam beragama. Pencarian jati diri ini cukup panjang dengan mengenal orang-orang yang berbeda, serta organisasi keagamaan yang berbeda. 

Kegamangan eksistensial mulai memuncak ketika hasrat belajar agama untuk mendapatkan kedamaian dalam diri. Belajar agama adalah puncak untuk mendapatkan ketenangan yang dulunya ketika SMA tidak sempat mempelajari agama dengan sungguh-sungguh. Subyek ini mulai belajar agama dari seseorang yang ia kenal mampu membimbingnya menuju kedamaian jiwa. Namun ketika muncul kesadaran untuk belajar agama, subyek ini belajar langsung dari seorang guru yang kebetulan ia kenal pertamakali dan memiliki organisasi keagamaan yang tidak biasanya di Lombok yakni NU, Muhammadiyah, dan NW (Nahdlatul Wathan). Subyek ini belajar agama dari seseorang yang kebetulan memiliki aliran yang terafiliasi ke Salafi Wahabi di Lombok.

Ishak Hariyanto

Subyek ini mulai serius belajar tanpa mempertimbangkan dan tahu mana organisasi keagamaan yang menyampaikan pesan kebencian dan perdamaian. Ia terus belajar dari seorang guru yang memiliki aliran Wahhabi. Ia mulai mengenyam semua ajaran yang diajarkan oleh Wahhabi, mulai tentang sunnah, halal dan haram dalam setiap aktivitas dan tindakan sehari-hari.   Subyek ini mulai diperkenalkan dan memasuki ajaran-ajaran Wahhabi tentang bid’ah yang kebetulan banyak dipraktekkan di masyarakat Lombok. Aktivitas bid’ah seperti yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad semasa hidupnya. Aktivitas bid’ah itu seperti tidak ada Qunut dalam solat subuh, zikir bersama, yasinan bersama, mentalqinkan orang yang sudah meninggal, bermain musik, berpakaian ala orang Barat, tidak berjenggot, tidak menggunakan celana cingkrang dan bahkan memperingati maulid Nabi. Semua aktivitas itu merupakan bid’ah bagi kelompok Wahhabi. 

Ajaran-ajaran inilah yang pertama kali subyek ini kenal dan yang ia pelajari selama bertahun-tahun semenjak ia lulus dari bangku sekolah SMA, yang tentu membuat darah mudanya semakin bergejolak dan siap melawan siapapun yang di luar dari kepercayaan Wahhabi. Subyek ini melihat semua orang yang di luar dari alirannya adalah Togut; atau berprilaku seperti setan yang layak diperangi dan bahkan darahnya halal. Akan tetapi semua itu bagi subyek baru sebatas pikiran, belum menuju tindakan. Akan tetapi paling tidak subyek ini sudah mulai menerapkan ajaran Wahhabi di dalam dirinya. Ia sendiri mengubah penampilannya dengan menggunakan surban, celana cingkrang, berjenggot dan tidak mempraktikkan ajaran-ajaran masyarakat yang ada di Lombok di luar dari ajaran Wahhabi.

Ia mulai membenci manusia dan menutup diri dari kebiasaan masyarakat Lombok yang dianggapnya tindakan dan perilaku syetan. Batinnya mulai bergejolak untuk berjihad dan memerangi semua orang. Ia mulai berjihad untuk terus melawan semua kebiasaan masyarakat Lombok, dan bahkan orangtuanya sendiri ia harus lawan karena tidak sesuai dengan ajaran yang ia pelajari. Pertama-tama ia mulai memerangi orangtuanya sendiri, dengan mengatakan bahwa tindakan dan ajaran orangtuanya adalah perilaku syetan dan itu semua bid’ah.   Orangtuanya layaknya masyarakat Lombok secara keseluruhan yang mencintai dan mempraktikkan nilai-nilai, ajaran, dan kebudayaan masyarakat Lombok seperti mengaji bersama, berzikir bersama, ikut mentalqinkan mayit, qunut, dan juga menyukai musik-musik tradisional masyarakat sasak. Orangtuanya memiliki alat musik Gamelan dan mencari nafkah dengan mengajarkan orang untuk belajar musik Gamelan. 
Subyek ini mulai mengatakan orangtuanya adalah pelaku bid’ah dan melawan orangtuanya agar membuang semua kepercayaan dan alat-alat musik Gamelan itu. Namun orangtuanya mengatakan bahwa subyek ini adalah orang yang tidak tahu berterimaksih, melawan, dan durhaka kepada orangtuanya, karena ketika SMA dulu bahwa Gamelan inilah yang membiayai sekolahnya serta saudara-saudaranya. Namun subyek ini tetap kukuh dengan ajaran Wahhabi bahwa orangtuanya berprilaku seperti syetan dan itu bid’ah. Dan pada akhirnya orangtuanya marah dan mengatakan anak durhaka dan jangan kembali lagi jika ajaranmu hanya membawa pesan kebencian kepada orangtuamu dan masyarakat. Saya sebagai orangtua malu memiliki anak yang durhaka serta memiliki ajaran yang membawa kebencian. 

Orangtuanya mengatakan pergilah dan renungilah ajaranmu itu, jika kamu bertaubat maka baliklah kerumah setelah kamu menyadari semuanya. Namun subyek ini tidak mengindahkan, karena baginya semua itu adalah bid’ah dan perilaku syetan yang layak untuk dimusuhi dan diperangi. Bagi subyek, tindakan melawan orangtuanya itu merupakan Jihad besar, ia tidak lagi mendengarkan perkataan manusia lain di luar kepercayaannya, yang dia turuti adalah ajaran kebenciaannya. Jangankan orang lain, orangtua saja saya lawan, itulah jihad yang harus dia lakukan yakni melawan orangtuanya sebelum jihad ke masyarakat.

Subyek ini akhirnya pergi meninggalkan orangtuanya dan tidak pernah kembali untuk sementara waktu karena melihat tindakan dan kepercayaan orangtuanya tidak sepertinya. Ia tetap melanjutkan jihadnya untuk melawan kebiasaan syetan yang ada di masyarakat Lombok. Baginya jihad adalah jalan terakhir yang harus dilakukan apapun konsekwensinya asalkan Tuhan dan syurga menantinya. Karena pergolakan eksistensial dan kepercayaan Wahhabi yang ada di dalam dirinya ini, membuatnya harus berpikir seribu kali bagaimana cara melawan perilaku bid’ah yang menjadi musuh syetan. Pesan-pesan kebencian dari ajaran Wahhabi kini membakar gairahnya untuk tetap berjihad di jalan Allah, karena kami adalah tentara Tuhan di bumi ini. Pergolakan eksistensial terus berlanjut dan semakin membara dalam dirinya untuk melakukan jihad yang lebih besar. Pergolakan ini pula yang membuat dirinya terpenjara oleh ajarannya yang tidak mau bernegosiasi dengan keadaan dan ajaran di luar Wahhabi.  
Namun suatu ketika, di malam hari subyek merasakan kepenatan yang kemudian mengambil air wudu untuk solat serta mencari ketenangan. Kemudian subyek melaksanakan solat malam sembari menunggu datanggnya waktu subuh. Ia menenangkan pikirannya di suatu masjid di tengah kampung untuk bermunajat kepada Allah agar diberikan ketenangan. Ketika bermunajat kepada Allah pada malam hari, seketika berkumandanglah azan subuh di masjid tempat ia bermunajat. Pada saat itu juga subyek ini akan ikut melaksanakan solat subuh berjamaah. Ketika iqomat berakhir, biasanya ada imam kampung yang biasa memimpin solat subuh berjamaah, namun pada momen itu imam yang biasanya memimpin berhalangan hadir karena sakit. Karena imam yang biasanya berhalangan untuk menjadi imam solat subuh, akhirnya tidak ada yang menjadi imam, karena yang paling layak dari penampilannya adalah subjek ini untuk disuruh menjadi imam. Ia di dorong untuk menjadi imam solat subuh, namun menolaknya karena ia takut disuruh menjadi imam karena pasti akan membaca qunut. Namun semua orang mendorongnya agar ia menjadi imam, ia tetap menolak dan tidak mau, tetapi ia disuruh lagi karena tidak ada yang bisa menjadi imam, dan akhirnya ia terpaksa untuk menjadi imam solat subuh. 

Saat memimpin solat dan mulai takbir, ia sudah gelisah karena terjadi gejolak serta pertanyaan di dalam dirinya, apakah saya akan qunut atau tidak, pertanyaan antara qunut atau tidak terus saja menghantui pikirannya. Jika ia qunut tentu bertentangan dengan ajarannya, bahwa Wahhabi tidak membaca qunut karena tindakan bid’ah, jika tidak qunut ia takut dengan jamaah solat subuh akan marah dan mengatakan dirinya sebagai orang yang sesat. Pertanyaan ini terus muncul sampai akhirnya tiba pada rakaat kedua solat subuh untuk membaca qunut, ia terdiam untuk sementara sembari dia berpikir untuk membaca qunut atau tidak. Karena menghormati jamaah dan takut untuk dikatakan orang yang sesat akhirnya mau tidak mau ia membaca qunut, namun ketika membaca qunut subyek beristigfar karena qunut adalah bacaan haram, ia terus beristigfar sampai qunut selesai dibacakan dan solat subuhpun berakhir. Ketika solat subuh berakhir, bacaan qunut telah membuat ia gelisah selalama solat subuh. Kegelisahan itu juga belum berakhir ketika selesai solat subuh, akan tetapi kegelisahan terakhir muncul lagi yakni apakah selesesai solat subuh akan berzikir atau tidak, karena zikir juga adalah bacaan yang bid’ah dalam ajaran Wahhabi. Jika tidak membaca zikir secara bersama, ia takut lagi untuk dikatakan sesat oleh jamaah, namun jika membaca zikir secara bersama, bacaan itu bertentangan dengan ajaran Wahhabi. 

Karena ketakutan itu akhirnya ia memutuskan untuk berzikir bersama-sama meskipun di dalam batinnya terjadi gejolak karena dia melakukan tindakan bid’ah dan terus beristigfar. Selesai berzikir ia kemudian bersalaman dengan jamaah sembari menunggu jamaah pulang dari masjid. Ia tetap berdiam di masjid dan mengulang solat subuhnya karena ketika ia menjadi imam solat telah melakukan tindakan bid’ah dan bertentangan dengan ajarannya. Saat selesai melaksanakan solat subuh, ia pun pulang ke kontrakannya. Sejak dikontrakannya, ia bersandar dan merenungi bacaan qunut dan zikir tadi, karena kedua bacaan itu adalah bid’ah, dan bertentangan dengan ajaran Wahhabi. Eksistensinya terus bergejolak dan mengatakan kepada dirinya bahwa dia harus bertaubat karena melakukan tindakan yang bid’ah. Namun di satu sisi, ia juga merenung, apakah bacaan qunut dan zikir tadi adalah tindakan bid’ah, jika bid’ah berarti saya berdosa besar. Ia terus merenung, dan bertanya apakah agama seperti ini, agama sangat membebani diri saya. Apakah beragama itu beban, ataukah agama memberikan kebebasan dan ketenangan. Namun kenapa saya beragama merasakan beban, apakah ini yang dinamakan beragama. Apakah agama harus menyeberkan pesan kebencian ataukah pesan perdamaian. Pertanyaan itu terus menghantui dirinya, dan memutuskan untuk tidak lagi membaca serta mengaji lagi di komunitas Wahhabi, ia mulai menyendiri dan merenungi kembali ajaran Wahhabi yang ia pelajari.

Setelah melalui perenungan yang panjang dan berhenti mengikuti kajian-kajian komunitas Wahhabi, dan ia mulai membaca buku-buku dan majalah tentang islam yang diperkenalkan oleh tradisi NU. Ia terus belajar dan mempelajari dari kiyai-kiyai NU, dan mengikuti komunitas NU untuk ia mengaji sebagai alternatif dan jawaban dari ajaran Wahhabi yang selama ini ia pelajari.  Dalam tradisi NU ia menemukan pesan perdamaian, kesantunan, dan tidak mebid’ahkan kebiasaan masyarakat Lombok, malah bagaimaan pesan keagamaan itu harus menjadi sumber perdamaian dalam batin dan tindakan. Ia terus mempelajari ajaran-ajaran agama dari Kiyai NU, Muhammadiyah, NW, dan disanalah ia menemukan pengetahuan alternatif dan merasakan kenyamanan dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh para Kiyai dan Tuan Guru NU. Dari situ juga ia merasakan hidup tenang tanpa terjadi gejolak eksistensial yang ia alamai selama belajar dari kelompok Wahhabi. Pada saat itu juga ia memiliki kesimpulan seharusnya beragama itu membuat hidup tenang bukan beban. Beragama seharusnya membawa pesan perdamaian bukan pesan kebencian.   

Dari solat subuh gejolak eksistensial terjadi, dari solat subuh bacaan qunut itu membuat saya terbebani, dari solat subuh juga saya belajar bahwa beragama seharusnya membuat hidup santai, nyaman, tenteram dan membawa pesan perdamaian dan bukan kekerasan. Solat subuh mengajarkan saya bahwa Islam itu luas, bukan hanya Wahhabi, akan tetapi ada NU, NW, dan organisasi lain yang memberikan pengetahuan alternatif agar tidak melihat ajaran agama dari kacamata kuda. Solat subuh mengajarkan saya bahwa jangan melihat Islam dengan kacamata kuda, selama ini saya melihat Wahhabi sebagai ajaran yang paling benar dan yang lain salah. Namun ternyata Islam itu luas dan harus membawa pesan perdamaian bukan kekerasan. Dari solat subuh juga saya harus banyak belajar dan membaca buku-buku lain sebagai referensi agar tidak melihat agama dari satu perspektif. Selama ini saya hanya membaca referensi dari Wahhabi sehingga membuat kehidupan dan pandangan saya terkungkung dan tidak bisa melihat kebenaran yang berbeda. Saat itulah saya akhirnya kembali menjadi manusia normal yang tidak membid’ah kan pandangan dan ajaran orang lain. Dari solat subuh juga saya akhirnya kembali lagi ke orangtua saya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah saya buat. Hidup saya kini kembali normal dan bergaul dengan semua kalangan dan aliran keislaman, saya tetap menjadi pembelajar yang menyampaikan pesan perdamaian dari agama, bukan pesan kebencian. Terimaksih kehidupan yang telah memberikan dan mengajarkan saya tentang pengalaman serta arti agama yang membawa pesan perdamaian.

Referensi:

Alatas, S. H. (2006). Islam and the Problem of Modernity: A Study of the Modern Reformist Thought of Muhammad Abduh and Muhammad Iqbal. International Institute of Islamic Thought.
Asad, T. (2003). Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford University Press.
Bagir, Z. A. (Ed.). (2005). Islam dan Ilmu Pengetahuan: Kumpulan Esai. Mizan.
Bruinessen, M. van. (1990). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Mizan.
Bruinessen, M. van. (2013). Ghazwul Fikri or Arabization? Indonesian Muslim Responses to Globalization. In M. Woodward (Ed.), Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations (pp. 161–192). Routledge.
Esposito, J. L. (2002). Unholy War: Terror in the Name of Islam. Oxford University Press.
Giddens, A. (1991). Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Polity Press.
Hasan, N. (2008). Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia. Cornell Southeast Asia Program.
Hidayat, A. R. (2006). Psikologi Agama. PT Remaja Rosdakarya.
Husaini, A. (2005). Wahabi: Antara Mitos dan Fakta. Gema Insani.
Jalaluddin. (2002). Psikologi Agama. Rajawali Pers.
Madjid, N. (1992). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Paramadina.
Rahmat, M. (2011). Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Erlangga.
Rahman, F. (1979). Islam. University of Chicago Press.
Riyanto, W. (2014). Agama Ramah: Jalan Menuju Perdamaian. Kanisius.
Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.
Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. University of North Carolina Press.
Soroush, A. (2000). Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush (M. Sadri & A. Sadri, Eds.). Oxford University Press.
Stark, R., & Glock, C. Y. (1968). Religion and Society in Tension. Rand McNally.
Syamsuddin, D. (2002). Islam dan Politik: Teori Belah Bambu. Paramadina.Woodward, M. R. (2011). Java, Indonesia and Islam. Springer.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama