Oleh: Dr. Agus, M.Si.
Peneliti PuSDeK UIN Mataram
Kontroversi terkait keaslian ijazah Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia, mencerminkan dinamika politik yang kompleks di tengah meningkatnya tensi politik nasional. Meski Universitas Gadjah Mada telah mengeluarkan klarifikasi resmi bahwa Jokowi adalah alumnus Fakultas Kehutanan (UGM, 2025a, 2025b), perdebatan di ruang publik tak kunjung surut. Alih-alih terjebak pada persoalan legal formal, tulisan ini mengangkat isu tersebut dari perspektif kekuasaan, pengaruh, dan kekuatan simbolik dalam politik.
Dalam konteks sosial-politik Indonesia yang semakin polarisatif, isu seperti dugaan ijazah palsu berfungsi bukan semata-mata sebagai pertanyaan hukum, melainkan sebagai instrumen delegitimasi terhadap figur pemimpin. Strategi ini menempatkan riwayat personal sebagai alat retoris untuk melemahkan kepercayaan publik dan membangun persepsi negatif secara sistematis (Dahl, 1961; Lukes, 2005).
Kekuasaan sebagai Narasi dan Perebutan Ruang Simbolik
Dengan merujuk pada konsep kekuasaan Foucault, kita memahami bahwa kekuasaan tidak terpusat pada institusi negara, melainkan tersebar melalui relasi-relasi sosial, narasi, dan wacana (Foucault, 1980). Tuduhan terhadap Jokowi memperlihatkan bahwa kekuasaan simbolik dapat dimobilisasi untuk menantang otoritas formal dengan menciptakan realitas alternatif tentang (ketidak)sahihan pemimpinnya.
Weber (1978) membagi legitimasi politik ke dalam tiga model: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Jokowi memperoleh dukungan publik melalui modal karismatik—narasi seorang rakyat biasa yang naik ke tampuk kekuasaan. Tuduhan pemalsuan ijazah menjadi serangan terhadap narasi karismatik ini, yang jika dipercaya publik, bisa mengikis basis legitimasinya.
Teori hegemoni Gramsci (2005) memperkuat analisis ini, bahwa kekuasaan tidak selalu bersifat koersif, melainkan diperkuat lewat dominasi ideologis dalam ruang budaya dan media. Maka tuduhan semacam ini tidak semata untuk membuktikan kebenaran, melainkan untuk menggoyang hegemoni dengan menggeser opini publik secara simbolik.
![]() |
Dr. Agus, M.Si |
Lebih lanjut, Steven Lukes (2005) memetakan tiga dimensi kekuasaan: terlihat, tersembunyi, dan tak terlihat. Kasus ini menunjukkan kekuasaan tersembunyi ketika narasi dipelihara oleh oposisi untuk menjaga isu tetap hangat, serta kekuasaan tak terlihat ketika persepsi publik dibentuk tanpa paksaan, tapi lewat pengulangan informasi yang dibingkai secara politis.
Media dan Opini Publik dalam Arsitektur Persepsi
Media massa, khususnya media sosial, tidak lagi sekadar menyampaikan informasi, tetapi turut serta sebagai arsitek realitas politik. Melalui framing tertentu, media membentuk persepsi publik secara selektif dan terstruktur (Wessler, 2008). Teori pluralisme politik seperti dikemukakan Dahl (1961) dan Downs (1957) menekankan bahwa berbagai kelompok dalam masyarakat bersaing memengaruhi opini publik untuk mempengaruhi keputusan politik.
Teori spiral of silence Noelle-Neumann (1974) juga menunjukkan bahwa kelompok mayoritas yang vokal bisa membuat kelompok pendukung menjadi diam, menciptakan ilusi konsensus negatif. Dalam konteks ini, viralitas tuduhan palsu memperkuat tekanan psikologis terhadap kelompok pro-pemerintah untuk tidak menyuarakan pembelaan secara terbuka.
Fenomena ini makin diperparah dengan mediatization politik, di mana keputusan politik tidak hanya rasional, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana ia direpresentasikan oleh media (Hallin & Mancini, 2004). Dalam hal ini, diamnya pemerintah bisa dibaca sebagai strategi untuk tidak memperbesar isu, atau sebaliknya, sebagai kegagalan komunikasi politik.
Kekuatan Formal vs. Kekuatan Informal
Kasus ini juga memperlihatkan interaksi antara kekuatan formal (Polri, partai politik) dan informal (masyarakat sipil, tokoh agama, influencer digital). Lembaga hukum seperti Polri menjadi benteng terakhir penegakan hukum, sementara partai koalisi menjadi kekuatan politis yang menjaga stabilitas. Namun, kekuatan informal seperti influencer digital dapat memengaruhi opini publik secara luas dan cepat, kadang melampaui kekuatan formal (Castells, 2009).
Tokoh agama dan masyarakat sipil memiliki pengaruh besar dalam mengarahkan opini berbasis nilai, bukan semata fakta hukum. Dalam masyarakat religius seperti Indonesia, legitimasi politik sering kali diperkuat atau dilemahkan oleh simbol-simbol moral dan etika yang dilekatkan oleh otoritas informal.
Kesimpulan
Isu dugaan ijazah palsu Jokowi mencerminkan bagaimana politik tidak hanya berlangsung dalam ruang kelembagaan, tetapi juga dalam narasi, simbol, dan persepsi publik. Tuduhan tersebut adalah bagian dari pertarungan ideologis di mana kekuasaan dibentuk dan direbut tidak hanya melalui pemilu, tetapi juga lewat pengaruh media dan narasi personal. Memahami dinamika ini memberi kita wawasan penting tentang wajah politik kontemporer Indonesia yang penuh dengan simbolisasi, dan di mana hukum, opini, dan kepercayaan saling bertarung di panggung publik.
Referensi:
Castells, M. (2009). Communication power. Oxford University Press.
Dahl, R. A. (1961). Who governs? Democracy and power in an American city. Yale University Press.
Downs, A. (1957). An economic theory of democracy. Harper and Row.
Foucault, M. (1978). The history of sexuality: Volume 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977. (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Gramsci, A. (2005). Selections from the prison notebooks. (J. A. Buttigieg, Ed.). Columbia University Press.
Hallin, D. C., & Mancini, P. (2004). Comparing media systems: Three models of media and politics. Cambridge University Press.
Lukes, S. (2005). Power: A radical view (2nd ed.). Palgrave Macmillan.
Noelle-Neumann, E. (1974). The spiral of silence: A theory of public opinion. Journal of Communication, 24(2), 43–51. https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.1974.tb00367.x
Universitas Gadjah Mada. (2025a). Joko Widodo alumnus UGM. https://ugm.ac.id/id/berita/joko-widodo-alumnus-ugm/
Universitas Gadjah Mada. (2025b). Klarifikasi UGM soal pernyataan Sofian Effendi. https://ugm.ac.id/id/berita/klarifikasi-ugm-soal-pernyataan-sofian-effendi-tentang-keaslian-ijazah-atas-nama-joko-widodo/
Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.
Wessler, H. (2008). The dynamics of political communication: Media and politics in a telemediated age. International Journal of Communication, 2, 196–215. https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/622