Oleh: Muhammad Rizky H.K
Will to survive bukan sekadar naluri. Ia adalah prinsip penggerak seluruh organisme hidup. Schopenhauer menyebutnya sebagai kehendak buta yang menggerakkan hidup tanpa tujuan sadar (The World as Will and Representation). Darwin melihatnya sebagai dasar seleksi alam, dan Richard Dawkins menyebutnya sebagai strategi gen egois. Nietzsche melangkah lebih jauh: bukan sekadar bertahan, tapi menjadi lebih dari will to power. Dalam konteks manusia, survival tidak hanya bersifat individu, tetapi juga kolektif. Muncullah altruisme sebagai bentuk survival sosial: membantu yang lain untuk memperkuat kelompok. Namun altruisme ini tidak steril. Ia berpotensi berbenturan dengan altruisme kelompok lain. Dalam benturan inilah politik muncul sebagai medan negosiasi dan pertahanan. Referensi lain yang memperkuat kerangka ini termasuk Peter Kropotkin (Mutual Aid) dan Frans de Waal (The Age of Empathy).
Setiap tindakan politik selalu mengandung dua sisi, egoisme dan altruisme. Di satu sisi, manusia ingin bertahan. Di sisi lain, manusia sadar bahwa tanpa yang lain, ia tidak akan bisa hidup. Inilah paradoks mendasar manusia sebagai makhluk politik: kita butuh yang lain, tapi kita juga bersaing dengan mereka. Dalam biologi evolusioner, konsep seperti reciprocal altruism (Robert Trivers) dan kin selection (W.D. Hamilton) menjelaskan bahwa tindakan “baik” tidak selalu bersumber dari moralitas, tapi dari kalkulasi bertahan. Dalam kehidupan sosial, altruisme berkembang menjadi solidaritas, lalu institusi, hukum, bahkan negara. Gesekan antara bentuk-bentuk altruisme kolektif inilah yang memunculkan politik: bagaimana menyusun hidup bersama ketika cara kita bertahan sudah tidak lagi sama. Dari sini, teori kontrak sosial seperti dalam Leviathan Hobbes atau The Social Contract Rousseau bisa dibaca ulang sebagai perjanjian hidup, bukan sekadar perjanjian kekuasaan. Elinor Ostrom dalam Governing the Commons juga menunjukkan bahwa komunitas bisa merancang aturan tanpa negara, justru karena mereka sadar akan ancaman hidup yang merata.
Politik adalah seni mengelola konflik antar bentuk kehendak hidup. Dalam masyarakat plural, tak ada satu cara bertahan yang bisa diberlakukan secara tunggal. Maka hukum, demokrasi, perwakilan, bahkan kekerasan, adalah cara-cara untuk menyusun kompromi dalam kondisi ketidaksepakatan. Foucault dalam Society Must Be Defended menggambarkan politik sebagai perang yang terus berlangsung dengan cara lain. Ia bukan tentang persetujuan, melainkan pengaturan gesekan antar-will to survive. Arendt menambahkan dalam The Human Condition, politik muncul bukan karena kita satu suara, tetapi karena kita berbeda dan tetap harus hidup di dunia yang sama. Politik menjadi medan keragaman yang tak bisa dihapus, tetapi harus dikelola. Dalam konteks ini, perbedaan bukan ancaman, melainkan sumber dari kemungkinan hidup bersama. Chantal Mouffe dalam The Democratic Paradox mengusulkan bentuk demokrasi yang tidak menghapus konflik, tapi justru merangkulnya sebagai tanda vitalitas politik.
![]() |
Muhammad Rizky H.K |
Apa nilai dari politik jika dasarnya adalah survival? Nilainya bukan terletak pada kebaikan abstrak, tapi pada kemampuan merawat kehidupan bersama terutama kehidupan yang paling rentan. Etika politik dalam kerangka ini tidak bertumpu pada moral individu, tapi pada respons terhadap yang lain sebagai yang juga ingin hidup. Emmanuel Levinas dalam Totality and Infinity menyebut bahwa kehadiran wajah yang lain adalah panggilan etis yang tidak bisa ditolak. Simone Weil dalam The Need for Roots menambahkan bahwa perhatian bukan cinta, bukan belas kasihan adalah akar dari keadilan. Politik etis adalah politik yang menyusun dunia di mana yang paling lemah sekalipun punya tempat untuk hidup, bahkan jika mereka tidak punya suara. Dalam pengertian ini, Albert Camus dalam The Rebel menyatakan bahwa pemberontakan adalah bentuk tanggung jawab terhadap absurditas kehidupan: kita tahu hidup itu sia-sia, tapi kita tidak ingin ada yang dilenyapkan begitu saja. John Rawls dalam A Theory of Justice memberi kita rumusan: keadilan adalah fairness bukan karena kita setuju pada semua hal, tapi karena kita tahu hidup ini hanya mungkin kalau kita menahan diri agar yang lain tetap bisa hidup.
Jika politik adalah seni bertahan hidup bersama, maka kekuasaan hanyalah satu alat di antara banyak kemungkinan. Politik, pada dasarnya, adalah bentuk dari keberanian untuk tetap hidup tanpa membunuh yang lain dan jika bisa, hidup bersama mereka.
Referensi:
Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.
Camus, A. (1951). The rebel: An essay on man in revolt (A. Bower, Trans.). Vintage. (Original work published 1951)
Darwin, C. (1859). On the origin of species by means of natural selection. John Murray.
Dawkins, R. (1976). The selfish gene. Oxford University Press.
de Waal, F. (2009). The age of empathy: Nature’s lessons for a kinder society. Harmony Books.
Foucault, M. (1978). The history of sexuality, volume 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (2003). Society must be defended: Lectures at the Collège de France, 1975–1976 (D. Macey, Trans.). Picador.
Hamilton, W. D. (1964). The genetical evolution of social behaviour. I & II. Journal of Theoretical Biology, 7(1), 1–52.
Hobbes, T. (1651). Leviathan. Andrew Crooke.
Kropotkin, P. (1902). Mutual aid: A factor of evolution. McClure, Phillips & Co.
Levinas, E. (1961). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Mouffe, C. (2000). The democratic paradox. Verso.
Nietzsche, F. (1901). The will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage Books. (Posthumous compilation)
Ostrom, E. (1990). Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge University Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.
Rousseau, J.-J. (1762). The social contract. Marc-Michel Rey.
Schopenhauer, A. (1818). The world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover Publications.
Trivers, R. L. (1971). The evolution of reciprocal altruism. Quarterly Review of Biology, 46(1), 35–57.
Weil, S. (1949). The need for roots: Prelude to a declaration of duties towards mankind (A. Wills, Trans.). Routledge & Kegan Paul.
Lindholm, S. (2023). Was Thomas Hobbes the first biopolitical thinker? History of the Human Sciences, 36(3), 5–29. https://doi.org/10.1177/09526951231159260
Hamilton, W. D. (1964). The genetical evolution of social behaviour. I–II. Journal of Theoretical Biology, 7, 1–52. https://doi.org/10.1016/0022-5193(64)90038-4
Trivers, R. L. (1971). The evolution of reciprocal altruism. Quarterly Review of Biology, 46(1), 35–57. https://doi.org/10.1086/406755