Oleh: Hamdi
Ada satu hal yang selalu menggelitik setiap kali saya mendengar Ishak Hariyanto berbicara: semakin panjang dan ruwet penjelasannya, semakin jelas pula kesan kepongahan yang muncul. Bukan berarti ia tidak cerdas, justru kecerdasannya kadang melimpah ruah hingga menjelma labirin kata-kata. Namun, alih-alih menjernihkan, keruwetan itu seringkali meninggalkan kesan pamer pengetahuan.
![]() |
Hamdi |
Bahasa yang berputar-putar memang bisa memikat sebagian orang. Ia seolah menghadirkan kedalaman, meski belum tentu ada substansi baru di dalamnya. Inilah paradoks penjelasan Ishak: antara ingin mendidik dan ingin dipuji. Ketika terlalu banyak ornamen, inti gagasan justru tenggelam, dan audiens hanya mengingat betapa sulitnya mengikuti alur pikirnya.
Saya tidak menolak pentingnya kompleksitas. Ada hal-hal memang perlu dijelaskan secara rinci. Tetapi kompleksitas seharusnya tetap membawa pencerahan, bukan kebingungan. Jika pendengar justru merasa tersesat, maka di situ ada persoalan komunikasi. Dan seringkali, komunikasi yang gagal bukan soal kekurangan pengetahuan, melainkan berlebihnya ego.
Kepongahan, dalam hal ini, terlihat dari sikap ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih tahu. Ishak Hariyanto barangkali tidak sadar, bahwa semakin rumit ia berbicara, semakin besar pula jarak yang ia ciptakan antara dirinya dan pendengar. Seakan-akan ada garis tegas: “Aku paham, kalian tidak.” Padahal, hakikat pengetahuan adalah membagi, bukan memisahkan.
Tentu, saya tidak menafikan kontribusi intelektualnya. Ishak punya kapasitas, punya bahan, dan punya semangat. Hanya saja, cara menyampaikannya yang penuh belitan istilah membuat gagasannya kehilangan daya hidup. Orang lebih sibuk menebak maksudnya ketimbang menyerap makna yang ia bawa.
Dalam dunia diskusi, kerendahan hati menjadi syarat utama. Kerendahan hati itulah yang membuat pengetahuan terasa ramah dan mudah didekati. Bila penjelasan berubah menjadi pertunjukan intelektual, maka ilmu yang seharusnya mengalir justru membeku, tersimpan dalam ruang ego pemiliknya.
Maka, catatan saya sederhana: semakin ruwet penjelasan, semakin tampak kepongahan Ishak Hariyanto. Jika ia ingin dikenang sebagai guru, bukan sekadar penceramah intelektual, maka yang dibutuhkan bukan sekadar banyak kata, melainkan kesediaan untuk merendah. Karena ilmu, pada akhirnya, hanya akan sampai bila disampaikan dengan kerendahan hati.