Jangan Melihat Ishak Hariyanto 11-12 dengan Nabi

Oleh: Azhari

Saya membaca catatan Hamdi yang berjudul “Semakin Ruwet Penjelasan Semakin Terlihat Kepongahan Ishak Hariyanto” dengan penuh perhatian. Ada banyak poin yang menarik, bahkan beberapa cukup menohok. Namun, saya merasa perlu memberi tanggapan: jangan melihat Ishak Hariyanto 11-12 dengan nabi. Maksud saya sederhana, jangan menuntut kesempurnaan mutlak dari manusia biasa, apalagi dalam soal cara berbicara dan menjelaskan sesuatu.


Azhari

Benar, penjelasan Ishak terkadang berputar-putar dan ruwet. Tetapi bukankah itu juga bagian dari gaya komunikasi yang khas? Sebagian orang memang cenderung menyusun kata dengan lapisan-lapisan, bukan garis lurus. Menganggapnya sebagai kepongahan bisa jadi terlalu tergesa, sebab bisa saja ia sedang berusaha menjangkau banyak sisi dalam satu penjelasan.

Hamdi menyebut keruwetan itu menimbulkan jarak antara pembicara dan pendengar. Saya sepakat sebagian. Tetapi mari kita lihat dari sisi lain: keruwetan juga bisa melatih kesabaran pendengar, mengajak orang untuk tidak menerima sesuatu secara instan. Di zaman serba cepat ini, barangkali Ishak—dengan segala “ruwet”-nya sedang mengingatkan bahwa pengetahuan butuh waktu untuk dipahami.

Tentu, saya tidak sedang membela habis-habisan. Kritik Hamdi tetap valid: seorang pembicara perlu rendah hati agar ilmunya mudah didekati. Namun, di sinilah poin saya: jangan bandingkan Ishak dengan standar nabi. Nabi memang harus menjelaskan dengan sempurna, sederhana, dan menembus hati semua orang. Ishak hanyalah manusia, dengan segala keterbatasan dan kelebihannya.

Kita bisa memilih untuk melihat keruwetan sebagai bentuk kelemahan, atau sebagai tantangan. Saya memilih yang kedua. Justru dari keruwetan itulah kita diajak menggali, mendiskusikan, bahkan mengkritik. Dan bukankah diskusi ini sendiri yang dipicu oleh gaya bicara Ishak sudah menjadi produk pengetahuan yang bermanfaat?

Kalau pun ada kesan kepongahan, mungkin itu lebih karena persepsi pendengar daripada niat pembicara. Sebab kerendahan hati atau keangkuhan seringkali bukan hanya soal isi, tapi juga soal rasa yang ditangkap audiens. Maka penting bagi kita untuk lebih jernih: apakah benar Ishak hendak memamerkan pengetahuan, atau kita sendiri yang terlalu cepat menilainya begitu?

Kesimpulannya, saya tidak menolak kritik Hamdi, tetapi saya ingin menambahkan catatan: jangan melihat Ishak Hariyanto 11-12 dengan nabi. Biarlah ia tetap manusia biasa yang punya gaya, punya kelemahan, sekaligus punya kontribusi. Dari sana, kita bisa belajar bahwa pengetahuan bukan hanya soal isi, tapi juga tentang cara kita saling memahami.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama