Oleh: Ishak Hariyanto
Saya membaca kritik dan tanggapan yang diarahkan kepada saya dengan senyum kecil. Hamdi menuduh saya terlalu ruwet, Azhari menegaskan agar jangan menyamakan saya dengan nabi. Baiklah, saya terima itu semua dengan lapang dada. Tetapi izinkan saya menulis satu kalimat pembuka: kalau tidak mau ruwet, kembali saja ke SMA.
![]() |
Ishak Hariyanto |
Kenapa saya bilang begitu? Karena keruwetan adalah bagian dari kehidupan berpikir yang lebih dewasa. Di SMA, kita belajar rumus sederhana, hafalan singkat, dan penjelasan guru yang dirancang agar semua siswa cepat mengerti. Tetapi begitu kita masuk perguruan tinggi, apalagi ruang diskusi intelektual, kita mesti terbiasa dengan keruwetan karena realitas memang kompleks, bukan hitam putih.
Keruwetan yang saya bawa bukanlah sekadar gaya bicara, melainkan refleksi dari kerumitan persoalan yang kita hadapi. Kalau saya menjelaskan soal demokrasi, agama, atau identitas, tentu tidak bisa hanya dengan dua kalimat singkat. Dunia ini tidak sesederhana pilihan benar atau salah. Ada konteks, ada nuansa, ada lapisan-lapisan makna yang harus diurai.
Saya paham, keruwetan kadang melelahkan bagi pendengar. Tetapi bukankah itu justru tantangan? Pengetahuan sejati tidak pernah datang dengan cara instan. Kita harus mengerahkan kesabaran, daya kritis, dan kemampuan berpikir mendalam. Jika semua mau serba cepat, serba singkat, serba sederhana, maka kita akan kehilangan inti dari proses intelektual.
Bagi saya, kepongahan bukan terletak pada keruwetan, melainkan pada sikap merasa bahwa dunia bisa dijelaskan dengan cara yang terlalu sederhana. Justru di situlah letak bahaya: kita jadi terbiasa dengan slogan, bukan analisis; dengan jawaban instan, bukan perenungan. Keruwetan seharusnya tidak ditakuti, melainkan dirayakan sebagai bagian dari kedalaman berpikir.
Saya tentu tidak anti-kritik. Kritik Hamdi dan Azhari saya anggap vitamin. Tetapi saya tegaskan lagi: kalau tidak mau ruwet, kembalilah ke SMA. Di sana kalian akan mendapatkan penjelasan lurus, singkat, dan mudah dicerna. Namun, jika ingin berdialog di level yang lebih tinggi, bersiaplah untuk berhadapan dengan keruwetan yang tidak bisa dihindari.
Akhirnya, keruwetan bukanlah penghalang, melainkan pintu masuk menuju kedewasaan intelektual. Jika kita berani masuk ke dalamnya, kita akan menemukan keluasan pandangan. Jika kita menolaknya, kita hanya akan berputar dalam kepastian semu. Jadi sekali lagi, jangan alergi dengan keruwetan. Karena tanpa itu, pengetahuan hanya tinggal hafalan, bukan pemahaman.